Heyy Tuan
Entah mengapa aku bagaikan laksana taman permainanmu, tempat kau tertawa dan bersenang-senang, hingga kau bosan dan kemudian ku ditinggalkan.
Meski ramai yang bermain disekitarku, namun rasanya taman itu bagaikan tempat kosong yang tak dihuni. Ramai yang menyedihkan, seperti itu gambaran diriku.
Aku merindukanmu bagaikan rumput yang menantikan embun pagi, tapi sepertinya rumput itu lebih beruntung dari pada diriku, penantian rumput itu pasti karena pagi selalu benar-benar kembali, tidak seperti kamu yang bagaikan halusinasi.
Sejujurnya aku sangat lelah, lelah menantimu, lelah merindukanmu, lelah bersabar, lelah menahan tangis, lelah terluka lagi, hingga kusadar ternyata mencintaimu begitu sangat melelahkan.
Hey Tuan
Marilah bertukar hati, agar aku tak perlu lelah menjelaskan bagaimana kau buat hati ini patah, dan agar kau tak perlu payah untuk mengerti, agar kau tau rasanya merindukan seseorang yang bahkan menganggapmu tak ada.
Ragaku terlalu usang dan jiwaku terlalu layu untuk kau titipi rindu ini, rindu ini terlalu lama bersemayam bagaikan hujan yang telah menghujam, dan menitik saat terpejam.
Bukankah cinta itu bagaikan rumah, tempat dimana yang mencinta dapat kembali pulang, tempat dimana yang mencinta merasakan nyaman.
Apa aku bukan rumah bagimu??
Kau bilang kau mencintaiku, jika aku adalah rumahmu, mengapa kau biarkan rumah ini lusuh dan rapuh, padahal aku membiarkan pintunya terbuka agar kau dapat masuk dengan mudah, tapi mengapa kau malah sibuk mengetuk pintu-pintu yang lain.
Kupikir aku terlalu naif, aku terlalu memaksakan kita. Aku baru menyadari bawa kita memang berdiri dibawah langit yang sama tapi bukan berarti kita memiliki cinta yang sama.
Ku kira aku bukan rumah bagimu, aku hanyalah ruang kosong yang tercipta setelah kau pergi.
Pergilah, dan carilah sofa untukmu duduk, hingga kau tak perlu lagi menendang kursi kayu yang kubersihkan untuk kau duduki. Aku cukup tau diri bahwa aku tak senyaman itu bagimu, meskipun bagiku kamu tetaplah beban terindah yang pernah menjamahiku.
Aku tau perasaan ini terlalu gila untuk kau pahami, aku tak memaksakan segalanya, apalagi hatimu yang kuyakin sudah tak ada lagi tempat untukku, meskipun aku tak pernah berhenti berharap bahwa keyakinanku saja yang terlalu percaya diri.
Kini benar-benar tak dapat lagi kudengar suaramu memanggil namamu, aku bahkan tak berani bertaruh jika kau masih mengingatku, karena bagimu aku hanyalah buih yang menghilang dibalik kabut.
Semoga kau bahagia tanpa gangguan dariku, Tuan.
Entah mengapa aku bagaikan laksana taman permainanmu, tempat kau tertawa dan bersenang-senang, hingga kau bosan dan kemudian ku ditinggalkan.
Meski ramai yang bermain disekitarku, namun rasanya taman itu bagaikan tempat kosong yang tak dihuni. Ramai yang menyedihkan, seperti itu gambaran diriku.
Aku merindukanmu bagaikan rumput yang menantikan embun pagi, tapi sepertinya rumput itu lebih beruntung dari pada diriku, penantian rumput itu pasti karena pagi selalu benar-benar kembali, tidak seperti kamu yang bagaikan halusinasi.
Sejujurnya aku sangat lelah, lelah menantimu, lelah merindukanmu, lelah bersabar, lelah menahan tangis, lelah terluka lagi, hingga kusadar ternyata mencintaimu begitu sangat melelahkan.
Hey Tuan
Marilah bertukar hati, agar aku tak perlu lelah menjelaskan bagaimana kau buat hati ini patah, dan agar kau tak perlu payah untuk mengerti, agar kau tau rasanya merindukan seseorang yang bahkan menganggapmu tak ada.
Ragaku terlalu usang dan jiwaku terlalu layu untuk kau titipi rindu ini, rindu ini terlalu lama bersemayam bagaikan hujan yang telah menghujam, dan menitik saat terpejam.
Bukankah cinta itu bagaikan rumah, tempat dimana yang mencinta dapat kembali pulang, tempat dimana yang mencinta merasakan nyaman.
Apa aku bukan rumah bagimu??
Kau bilang kau mencintaiku, jika aku adalah rumahmu, mengapa kau biarkan rumah ini lusuh dan rapuh, padahal aku membiarkan pintunya terbuka agar kau dapat masuk dengan mudah, tapi mengapa kau malah sibuk mengetuk pintu-pintu yang lain.
Kupikir aku terlalu naif, aku terlalu memaksakan kita. Aku baru menyadari bawa kita memang berdiri dibawah langit yang sama tapi bukan berarti kita memiliki cinta yang sama.
Ku kira aku bukan rumah bagimu, aku hanyalah ruang kosong yang tercipta setelah kau pergi.
Pergilah, dan carilah sofa untukmu duduk, hingga kau tak perlu lagi menendang kursi kayu yang kubersihkan untuk kau duduki. Aku cukup tau diri bahwa aku tak senyaman itu bagimu, meskipun bagiku kamu tetaplah beban terindah yang pernah menjamahiku.
Aku tau perasaan ini terlalu gila untuk kau pahami, aku tak memaksakan segalanya, apalagi hatimu yang kuyakin sudah tak ada lagi tempat untukku, meskipun aku tak pernah berhenti berharap bahwa keyakinanku saja yang terlalu percaya diri.
Kini benar-benar tak dapat lagi kudengar suaramu memanggil namamu, aku bahkan tak berani bertaruh jika kau masih mengingatku, karena bagimu aku hanyalah buih yang menghilang dibalik kabut.
Semoga kau bahagia tanpa gangguan dariku, Tuan.
Komentar
Posting Komentar