Menepi, aku kembali pada jalanan yang sunyi. Hanya berani menyusuri nya ditepian saja.
Ironisnya aku mengaku kalah, menyerah yang bukan berarti pasrah, dalam gulita ku resah tak usai-usai.
Ku tak tau apa maunya hati, risau riuh tak redam-redam.
Jua nan jiwa raga yang berontak saat separuh hatinya direnggut si memesona.
Kalut aku pada nyatanya yang menohok terlalu dalam.
Diam aku, bungkam saja, menjerit ku tak kuasa bahkan menangis saja tidak.
Kubiarkan saja, mungkin diri ini bak pelabuhan sementara nya, yang dianggap kayunya usang pada pinggiran dermaga.
Kalah jauh bila dibandingkan dengan si memesona.
Menjauh aku dari ombak, senja, juga hujan yang sangat kucintai.
Sebab segalanya tentang hal yang berkaitan menikamku berulang-ulang, jadi enggan ku kembali.
Aku bukan tenang yang menghanyutkan, bukan juga memesona yang menakjubkan, apalagi bunga yang diharapkan.
Tak harum, tak indah, tak nampak, tak pula menjadi yang di inginkan.
Ada saja hampir tiada-
Menarik diri dari kesedihan luar biasa, aku mencari tawa di kosong yang tak bervolume.
Yang melihat dirasa aku bahagia.
Yang memerhatikan dipikir aku sangat bahagia.
Yang tak tau, lebih lagi diduga aku serakah bahagianya.
Memekik aku tanpa suara, ku tarik kedua sisi bibir melengkungkan senyuman.
Tawaku yang renyah bagaikan tameng untuk menyenangkan anggapan mereka lainnya.
Menang kalian, aku biasa kalah.
Ku kira ini yang namanya enggan.
Entah apa saja aku hanya enggan, muak berlipat-lipat dari biasanya.
Dikata aku kecewa, kubilang lebih dari itu. Hanya hati tak mau mengakuinya.
Sudah ku katakan resah ini begitu riuh dan tak redam-redam.
Kupandangi ungu dan kuning tembok kamar, dalam gulita lampu itu berkelap-kelip bahagia.
Kuhabiskan banyak malam panjang dalam sepi yang tak ada habisnya.
Kupikirkan mana bisa aku kalah.
Tak terpejam hingga hari berganti, seperti aku takut pada mentari, ku lelap pada terang namun aku bersua lama dengan malam.
Dikira aku rindu, sebab malam menahanku untuk menghabiskan waktu mengenangmu.
Apa peduliku, bergumam sinis pada petang, tak ingin kamu tau bahwa malam memang benar.
Kurasakan angin berhembus, bergidik aku tak seperti biasanya, dengan miris aku sampaikan rindu pada angin, barangkali dia bertiup kearahmu, meski hanya sejenak mengalihkan pandangmu dari si memesona.
Tak tau diri aku, pun sudah lama aku mengaku kalah, biar saja aku begini, barangkali bersalahmu beranak pinak, hingga tertawa aku pada kehampaan yang sesungguhnya.
Kembali tidak, menyesal tak berhak, diam saja karena sudah enggan.
Selamat tinggal, aku berhenti bermain peran.
Ironisnya aku mengaku kalah, menyerah yang bukan berarti pasrah, dalam gulita ku resah tak usai-usai.
Ku tak tau apa maunya hati, risau riuh tak redam-redam.
Jua nan jiwa raga yang berontak saat separuh hatinya direnggut si memesona.
Kalut aku pada nyatanya yang menohok terlalu dalam.
Diam aku, bungkam saja, menjerit ku tak kuasa bahkan menangis saja tidak.
Kubiarkan saja, mungkin diri ini bak pelabuhan sementara nya, yang dianggap kayunya usang pada pinggiran dermaga.
Kalah jauh bila dibandingkan dengan si memesona.
Menjauh aku dari ombak, senja, juga hujan yang sangat kucintai.
Sebab segalanya tentang hal yang berkaitan menikamku berulang-ulang, jadi enggan ku kembali.
Aku bukan tenang yang menghanyutkan, bukan juga memesona yang menakjubkan, apalagi bunga yang diharapkan.
Tak harum, tak indah, tak nampak, tak pula menjadi yang di inginkan.
Ada saja hampir tiada-
Menarik diri dari kesedihan luar biasa, aku mencari tawa di kosong yang tak bervolume.
Yang melihat dirasa aku bahagia.
Yang memerhatikan dipikir aku sangat bahagia.
Yang tak tau, lebih lagi diduga aku serakah bahagianya.
Memekik aku tanpa suara, ku tarik kedua sisi bibir melengkungkan senyuman.
Tawaku yang renyah bagaikan tameng untuk menyenangkan anggapan mereka lainnya.
Menang kalian, aku biasa kalah.
Ku kira ini yang namanya enggan.
Entah apa saja aku hanya enggan, muak berlipat-lipat dari biasanya.
Dikata aku kecewa, kubilang lebih dari itu. Hanya hati tak mau mengakuinya.
Sudah ku katakan resah ini begitu riuh dan tak redam-redam.
Kupandangi ungu dan kuning tembok kamar, dalam gulita lampu itu berkelap-kelip bahagia.
Kuhabiskan banyak malam panjang dalam sepi yang tak ada habisnya.
Kupikirkan mana bisa aku kalah.
Tak terpejam hingga hari berganti, seperti aku takut pada mentari, ku lelap pada terang namun aku bersua lama dengan malam.
Dikira aku rindu, sebab malam menahanku untuk menghabiskan waktu mengenangmu.
Apa peduliku, bergumam sinis pada petang, tak ingin kamu tau bahwa malam memang benar.
Kurasakan angin berhembus, bergidik aku tak seperti biasanya, dengan miris aku sampaikan rindu pada angin, barangkali dia bertiup kearahmu, meski hanya sejenak mengalihkan pandangmu dari si memesona.
Tak tau diri aku, pun sudah lama aku mengaku kalah, biar saja aku begini, barangkali bersalahmu beranak pinak, hingga tertawa aku pada kehampaan yang sesungguhnya.
Kembali tidak, menyesal tak berhak, diam saja karena sudah enggan.
Selamat tinggal, aku berhenti bermain peran.
Komentar
Posting Komentar