Langsung ke konten utama

Dewasakah aku?


Aku menulis ini pada pagi di awal Februari.

Pagi yang lumayan dingin untuk  menemani sisa-sisa  resah yang tertinggal  dari bulan kemarin.
Tidak ada yang berbeda dari pagi ini,  seperti hari kemarin dalam tujuh bulan terakhir aku mengalami putaran waktu yang sama, menjalani rutinitas yang hanya itu-itu saja, tujuh hari yang kumiliki dalam seminggu tidak terasa menyenangkan lagi.

Aku seperti bukan aku, aku hanya sedang melakoni hidup yang kata banyak orang memang seharusnya begitu.
Ini bukan ambisi, hanya saja keadaan yang memaksaku untuk ada disini, duduk didepan meja kerja menanti waktu agar cepat berlalu.
Setiap sepuluh menit kutengok jam dinding, “masih tujuh jam lagi” ujarku. Selalu begitu setiap waktu.

Dari kursi kerjaku, berjarak tiga meter hanya terhalang kaca bening seorang pria dengan punggung lebarnya duduk disana, yang kupikir Tuhan mendatangkannya untuk membuatku menjadi manusia bijaksana.
Bijaksana pada diri sendiri, meyakinkan hati bahwa hari ini akan cepat berlalu, bahwa segalanya akan berjalan dengan baik-baik saja.
Abaikan pria berpunggung lebar itu yang bahkan saat aku mendengar tawanya terasa sangat memuakkan.” Aku disini untuk hidup! Aku disini untuk hidup! Aku disini untuk hidup!” ucapku menyemangati diri.

Satu hari berlalu, seminggu kulewati, dan satu bulan telah habis, aku tak tau lagi sampai kapan harus hidup seperti ini, bukan tidak mensyukuri, tapi aku takut, aku takut makin hari aku makin kehilangan jati diri, aku takut lupa aku ini seperti apa, aku ini siapa,  aku takut hidup menjadi orang lain, yang hanya tertawa padahal tidak bahagia, yang tersenyum padahal tidak ingin menyapa, yang berkata baik padahal tidak suka.

Apakah kehidupan memang seperti ini? Merenggut waktu, merenggut bahagia, merenggut kemurnian sifat seseorang, merenggut cita-cita lainnya, merenggut angan dan banyak harapan, merenggut milik orang lain yang tidak bisa bertahan.

“Dewasakah aku?”, pertanyaan itu tak pernah benar-benar terjawab olehku.
Banyak pertanyaan lain yang menimpali pertanyaan itu. Seperti “Apakah menjadi dewasa semengerikan ini?”, “Mengapa menjadi dewasa sama dengan menjadi tidak bahagia”, atau “Bagaimana seharusnya orang dewasa menjalani hidup?”. Aku sungguh tak mengerti makna dari dewasa itu sendiri.
Dan jika menjadi dewasa mengubahku menjadi manusia tak punya hati, aku hanya ingin sampai disini.

Hidup tanpa menjadi dewasa.
-          ndey

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hapuslah Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu

Aku jadi ingin melakukan hal yang sama setelah membaca tulisan milik Hamsad Rangkuti yang berjudul "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu," aku begitu terlarut dengan tulisan itu. Dengan perasaan resah kuraba bibirku dengan jemari, seakan masih terasa kecupan terakhir bibirnya dibibirku. Terasa pula tangannya yang mengelus lembut rambutku ketika bibirnya masih melekat mesra dibibirku. Memang benar semua kenangan antara aku dengannya sudah kuhapus walau kadang beberapa dari memorinya muncul kembali sebagai virus yang merusak jaringan di sistem hatiku. Namun masih ada yang tertinggal dengan baik ditempatnya, bekas bibirnya yang belum terhapus masih melekat dibibirku. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya dibibirku dengan bibirmu," seperti yang dituangkan oleh Hamsad Rangkuti dalam tulisannya, aku memperkenankanmu melakukannya untukku. Tak apa lakukanlah, kecup saja bibirku dengan bibirmu, lumatlah agar bekas bibirnya benar-benar hilang dari...

Kala Sore

Kala sore, Jalan itu terasa lengang Walaupun satu dua masih berlalu lalang Dua pasang kaki berdiri di pinggir trotoar Kala sore, Langit mulai terlihat kekuningan Desis daun memecah keheningan Dua bibir masih saling terbungkam Kala sore, Daun gugur diterpa angin Kicau burung meramaikan sepi Dua pasang mata menatap lirih Kala sore, Matahari mulai menghilang Seperti petang akan segera datang Dua pasang insan saling meninggalkan

Ketidaksengajaan Yang Diatur Tuhan

Aku tak tau ingin memulai ini dari mana. Banyak yang kurasakan, ingin kusampaikan, hingga jadi membingungkan untuk ku aksarakan. Sayang, sebelum bertemu denganmu aku sudah menjadi seorang pemimpi, sama halnya denganmu berkhayal terasa menyenangkan bagiku. Hanya saja mungkin haluan khayalan kita yang berbeda, kamu yang terlalu fantasy sedangkan aku terlalu fiksi. Aku punya banyak mimpi yang kata orang hanya bisa jadi imajinasi, tapi bagiku semua mimpi itu harus lebih nyata dari sekedar imajinasi. Bahagia, ia memang banyak dari sebabnya adalah ketika aku sedang bermimpi, berkhayal, berandai-andai tentang segala sesuatunya yang terlihat indah serta membahagiakan. Taukah kamu sayang, akhir-akhir ini aku banyak melibatkanmu dalam mimpi itu. Mungkin jika kuceritakan akan terdengar terlalu berlebihan, tapi sungguh bahwa segalanya amat menyenangkan kurasakan. Pernah kubilang bukan, bahwa aku lelah untuk memulai lagi, ku ingatkan sedikit, percakapan itu kita lakukan di pinggiran...

Sepertinya Penulis Jatuh Cinta

Selamat malam hujan, aku sedang  mendengarkan suara rintikmu dari balik selimutku. Hujan, rasanya sudah lama sekali aku sibuk dengan rutinitas yang menyita waktu hingga aku tak sempat menyapamu dikala kau berlalu beberapa saat kemarin, bahkan aku mengabaikan sedikit banyak imajinasi yang biasanya menjadi alat menyampaikan perasaanku. Aku lupa cara berkata-kata dan mengatur diksi yang baik pada tulisanku, terlihat berantakan serta tak beraturan pada setiap kata yang kutuliskan. Bagaimana aku menyampaikan bahagiaku ini hujan, aku takut perkataanku salah dan tak terdengar indah. Harusnya jika aku bahagia, para pembacaku juga turut bahagia, aku takut malah menuliskan hal yang begitu melankolis diatas bahagiaku. Ah makin lama makin penuh gurauan saja, aku pun tak mengerti dengan pasti harus mengawali cerita ini dari mana. Hujan, aku bahagia. Bahagiaku karena kutemui sosok yang merasa bahagia karena hadirku. Hujan ada lagi, ternyata masih ada sosok yang merasa bahagia jika bersamaku...

Apa Kamu Tau ???

Apa kamu tau hal yang paling indah dari hujan???  Hujan masih mau kembali meskipun ia tau rasanya jatuh berkali-kali. "Aku mau kamu seperti hujan, aku mau kamu terus kembali meski terkadang aku membuatmu tersandung sampai kau tersungkur, aku mau kau mengabaikan sakit hadir saat jatuh itu dan percayalah, aku akan menyesal sudah membuatmu terjatuh". Apa kamu tau mengapa aku suka hujan??? Karena hujan memahamiku, karena hanya dibawah hujan aku dapat menyembunyikan air mata. "Aku ingin suka kamu seperti aku suka hujan, aku ingin kamu dapat memahamiku lebih dari hujan, aku ingin kamu dapat menyeka air mataku atau membiarkan bahumu basah dengan air mataku, bukan hanya sekedar menyembunyikan tapi menghapusnya dan takkan membiarkan air asin itu membanjiri kelopak mataku ini". Apakah kamu tau kalau cinta itu menguatkan tapi Egois dapat merusaknya???  Iya bukankah selama ini hanya keegoisan yang membuat cinta kita berjarak. "Aku ingin kamu tetap cinta walau terkadang...