Langsung ke konten utama

Postingan

Kemarin itu

Mengapa harus kamu? Jika ku ketahui pemilik hati ini yang sesungguhnya, beranjak aku dari kemarin. Aku.. Disampingmu bukan karena memilihmu, hanya waktu itu semua menetap dengan sendirinya. Seringkali kamu yang tak tau diri itu jadi sebab depresiku, namun tak tau mengapa ragaku masih bersikukuh untuk menetap. Kian hari mencintaimu membuatku kelelahan, aku bertahan diantara banyak pertanyaan yang tak sanggup terutarakan, dan kamu menenggelamkan ku dalam ketidakpastian yang gamblang antara perasaan yang nyata atau hanya halusinasi sementara. Aku dalam kondisi sadar sejak kemarin, saat aku melibatkan diri dengan sosok bodohmu. Tapi sepertinya mabukmu tak pernah reda sejak kemarin itu, hingga aku tak tau, apakah aku pernah kau anggap nyata. Seperti angin, aku merasa hanya berlalu disekitarmu, tak seperti oksigen yang selalu kau butuhkan meski dalam mabukmu. Bahkan kulit hitammu cukup tebal untuk tak merasakan aku berhembus berlalu lalang, tak seperti daun yang berguguran karenaku....

Diriku hilang, di November yang hujan-

November datang lagi, hanya saja hari-hari berlalu lama akhir-akhir ini. Hujan menyambut mulai dari awal November. Namun tidak setenang biasanya, segalanya makin kalut jika dirasakan. Segalanya tak berjalan sesuai rencana, apa yang diharapkan banyak tak tercapai, seperti aku menjalani hidup yang bukan milikku. Kupikir setelah banyak kesulitan terlalui, menjadi dewasa adalah hal yang mudah, namun nyatanya menjadi dewasa tak sesederhana itu. Sebelumnya tak pernah aku pikir akan sesulit ini, dan rasanya sangat menyusahkan. Segala keputusan saling melibatkan, hingga aku merasa, -aku kehilangan diriku sendiri. Hidup tanpa jiwa, hanya dengan raga yang terlalu lelah untuk dipaksakan. Jika pilihan adalah sebuah langkah untuk meninggalkan lainnya, bisakah aku tak perlu memilih?? Jika kenangan terasa begitu dirindukan setelah segalanya berlalu, bisakah waktu berhenti pada detik yang ku inginkan saja? Jika kenyataan akan terasa begitu menyulitkan, bisakah aku hanya menjadi tokoh fiksi...

Oktober lalu berlalu

Kembali lagi pada Oktober, hari hujan hampir mengintimidasi pada setiap tanggalnya, tahun lalu pun begitu. Perkiraanku ini akan berlanjut sampai pergantian tahun. Ah yaaa, aku bukan peramal cuaca apalagi penolak hujan. Segalanya hanya masih teringat jelas, tentang hujan, sore, dan banyak kenangan indah lainnya di Oktober yang lalu. Pagi ini hujan, tapi langit cukup cerah bahkan tak ada awan hitam yang bergulung disana. Aku memandangi langit pagi yang kuning keemasan, mencari mentari yang bersembunyi dibalik awan putih, melihat hujan yang turun tanpa malu karena warnanya jadi keperakan tersorot cahaya dari langit. Namun aku memilih kembali bersembunyi dalam selimutku dari pada memandangi hal yang biasanya jadi kesukaanku itu. Mencari gelap yang hangat untuk bersembunyi, dan berharap hujan turun semakin deras. Hujan berhasil menjebakku, menguapkan kenangan yang terkubur lama. Seperti di Oktober lalu, misalnya saat aku dan kamu banyak menghabiskan waktu memandangi langit sore b...

batas waktu

Aku membenci waktu. Membenci perasaanku yang tak bisa membencimu. Semakin hari semakin tak kumengerti, mengapa waktu semakin mengukuhkan perasaan ini. Bahkan disaat aku tak pernah terlihat di matamu ataupun menjadi bermakna bagimu, aku tetap tak bisa meninggalkan perasaan ini jauh dibelakang. Cinta bukan soal memberi dan menerima tapi lebih kepada ada dan tiada. Apakah aku pernah ada dihatimu, atau masihkah ada aku ditempat itu, atau mungkinkah keberadaanku sama halnya dengan keberadaanmu dihatiku. Jelas tidak, aku tau aku tak pernah seberharga itu bagimu. Yang ku ketahui kini, tak ada hal yang diniati dengan tulus akan berujung sia-sia, walaupun terkadang segalanya tak berbalas. Hanya mungkin jika memang tak ada pilihan, apakah memang aku tak boleh lagi memaksakannya, atau aku harus mundur perlahan-lahan. Tegaslah, meski harus melukai. Katakan tidak jika kau tak inginkanku. Jangan membuatku menjadi begitu tidak berarti. Perjuangan butuh lebih dari sekedar rasa dan nostalgia ...

meminta

Aku ingin meminta, berharap Tuhan mendengarnya. Tuhan, Kau yang paling tau apa yang terjadi dalam hidupku, hal apa yang menjadi sebab senang dan sedihku, dan bagaimana bentuk hatiku. Jika aku menggambarkan menggambarkan, hatiku bagai pecahan kristal yang sulit disatukan, lalu berserakan hingga jauh dari kepingan lainnya, terpisah dalam sudut-sudut kosong tanpa muara. Tuhan, biarkan aku mengeluh kali ini. Segala upaya untuk mengembalikan kondisiku sudah kulakukan, tapi di ujung malam yang kulakukan hanya bisa menangis sejadi-jadinya. Aku ingin bersandar, rasanya sangat melelahkan, sungguh. Aku sudah bermain peran dengan hebat, mengemas segalanya agar terlihat baik-baik saja, tertawa menutupi ribuan luka yang menghujam, dan karenanya sangat melelahkan. Aku tak punya banyak sisa kekuatan untuk melakukannya lagi, karena semakin hari semakin tidak mudah. Tuhan, kirimkan aku malaikat. Jumpai aku dengan sosoknya, aku inginkan penjaga. Siapa saja yang Kau percayai baik untukku. ...

Cemas'

Aku tidak tau sebenarnya aku kenapa, aku hanya seperti kebingungan, dan kehilangan arah untuk diriku sendiri. Beberapa waktu lalu kupikir arah itu masih menuju ke dirimu, tapi lamat-lamat kamu menjauh dari jarak rengkuhku. Memikirkanmu, aku berada di dalam ilusi rentan pada sunyi yang penuh dengan kecemasan. Sungguh cemas, seperti merindukanmu adalah dosa yang tak seharusnya kulakukan. Tak sanggup merelakan karena harapan menjadi kejanggalan yang menjelma menjadi sebuah pertanyaan. Seperti itu dirimu kugelisahkan namun kemudian menjelma menjadi keraguan tanpa harapan. Kamu dimana sekarang? Aku masih disini, ditempat semula dimana hatiku tak pernah berhenti mencintaimu, di tempat semula dimana diri ini menunggumu. Aku masih menunggu, meski ku tau beberapa pergi tak mengenal pulang. Aku berusaha ikhlas, meski ku tau beberapa salah tak mengenal maaf. Aku masih menanti, meski beberapa belum tak mengenal sudah. Dan aku akan terima, meski beberapa lara tak mengenal rela. ...

Semesta lainnya'

Aku hanya ingin pergi, kemanapun terserah. Menjauh dari hiruk pikuk yang menyebalkan ini. Adakah semesta lainnya untuk ku singgahi, aku ingin kesana, menciptakan jarak yang tak sanggup kau ukur dengan kilometer, lebih jauh dari jarak terjauh yang kau pikirkan. Semesta dimana tak dapat kau tinggali, semesta yang tenang dan menyuguhkan bahagia yang sesungguhnya, hanya ada aku dan bahagiaku. Tak ada kamu, kamu, dan kamu, juga yang lainnya. Tanpa beban, tiada masalah, lepas, tak terasa berat, hanya diam, sunyi, lenggang, terhampar luas, kosong, hingga aku dapat melakukan apa saja sesuka hatiku. Disini terlalu menyesakkan, terlebih lagi ditambahkan dengan kenyataan bahwa dunia terlalu melankolis untuk tak diperdulikan. Aku sungguh kesulitan menghadapi semesta ini, aku merasa dihukum begitu lama dan terlalu lama. Ah sial, segalanya hancur hanya dalam satu waktu, padahal susah payah aku menyembuhkan hatiku dari kehilanganmu kemarin, malah disaat semuanya berlalu segalanya terungkap d...