"Begitu terik sang surya memberikan kehangatannya hari ini hingga ku benar-benar rindu hujan. Biasanya kutatap langit yang teduh bahkan hari ini mataku menyipit saat mendongak kearah langit dan tak tahan akan cahaya dari sang surya yang begitu terang beribu kali lipat dari biasanya. Kurasakan ada air keringat yang menetes dari dahiku, bahkan setengah bajuku seperti dibasahi oleh hujan keringat dari tubuhku. Namun perjalananku masih jauh, belum setengah kutempuh dari tempat tujuanku, menyusahkan sekali memang pergi dihari yang cuacanya tidak berpihak seperti ini. Namun tujuanku begitu ingin kucapai, kudengar kabar masku pulang dari perantauannya, mas yang setahun ini aku tunggu kepulangannya, mas yang amat sangat kurindukan."
Ahh suara petir membuyarkan konsentrasiku, hingga imajinasi dari tulisan yang kubuat terpencar kemana-mana, baru saja aku terhanyut masuk sebagai tokoh dalam tulisanku dengan peran sebagai gadis desa yang menggebu ingin mengejar cinta seorang mas nya.
Sulit untuk menyatukan kembali imajinasi fanaku, apalagi menyusun eksplorasi diksi yang berantakan ketika konsentrasiku buyar seperti ini.
Rasanya kini aku lebih baik memilih untuk menyelesaikan membaca novel karya penulis idolaku yang juga menjadi motivator dari tulisan-tulisan yang kubuat selama ini.
Ah sialnya karya dari penulis idolaku ini selalu sama dengan kisahku, lebih parahnya lagi pilihan kata ditulisannya mampu membuat hatiku getir teringat pahitnya kisahku yang terbuka karena membaca novel ini.
Sosok dalam novel itu adalah aku yang berperan sebagai wanita yang punya semangat tinggi dan memperjuangkan cintanya hingga berdarah-darah namun selalu ditinggalkan saat sedang cinta-cintanya.
Sama persis, sial. Belum sampai ending ceritanya pun aku sudah dibuat meneteskan air mata berkali-kali karena tulisan ini.
Masih penasaran pada endingnya, namun tak dapat kulanjutkan membaca karena ku dengar suara ibuku memanggil.
Ibuku memang selalu begitu, kadang memanggil disaat yang tidak begitu tepat.
Ternyata waktunya makan malam tiba, dan seperti biasanya hanya ada aku dan ibuku di meja ini, ayahku entah mungkin sedang dimeja yang berbeda bersama wanita lain.
Ibuku memulai percakapan sambil menyodori piring kearahku. Ah, sialnya perkataan ibuku benar-benar membuat nafsu makan ku hilang.
Ibuku menanyakan dia, kabarnya, mengapa akhir-akhir ini dia jarang mengunjungi, dia seseorang yang beberapa waktu lalu kukenalkan kepada ibuku sebagai kekasihku.
Apa yang harus kukatakan untuk menjawab segala pertanyaan ibu ku, masih dengan diam aku memikirkan kata apa yang harus kuucap sebagai jawaban.
Aku hanya dapat berkata, kabarnya baik dan akhir-akhir ini ia sedang lebih sibuk dari biasanya hingga jarang mengunjungi.
Namun dalam hatiku yang menangis aku menjawab pula. Ibu, tahukah ibu beberapa waktu terakhir ini hatiku sangat sedih, kondisiku amat kacau, hanya saja aku begitu berusaha berakting dan menjadi artis yang baik didepanmu. Aku tak ingin menambahkan kekhawatiran ditengah kesedihan yang kau alami karena ayah.
Ibu, tahukah apa sebab dari keterlukaan hatiku. Pria itu bu, dia yang kau tanyai telah melukaiku, setelah aku percaya akan adanya cinta setelah bertemu dengannya dalam seketika ia juga membuatku kembali tak percaya bahwa masih ada cinta yang tulus saat dia telah meninggalkanku dalam kondisi yang sedang cinta-cintanya.
Tahukah ibu apa lagi yang lebih membuatku terluka, ia pergi hanya karena ada wanita lain yang katanya lebih baik dariku bu. Ia bilang ia muak denganku wanita berkacamata yang berpenampilan seperti wanita kuno, dia bilang dia muak harus menghadapi imajinasi yang selalu kutuangkan dalam tulisanku itu. Katanya aku tidak berpotensi apa-apa untuk pantas bersanding dengannya.
Salahku apa bu, apakah salah jika aku tumbuh sebagai wanita sederhana yang apa adanya, apakah salah jika aku gila dalam imajinasiku.
Dulu katanya ia dapat menerima segala kurang dan lebihku, tapi dia ingkar bu, hingga kini aku benar-benar terluka.
Apakah pria memang seperti itu bu, sama seperti ayah juga??
Mengapa pria-pria disekitarku berperan dengan sangat jahat, apakah pria semuanya selalu begitu, para pria menyanjung wanita sampai nirwana hingga jika mereka mencapai tujuannya mereka menghempaskan para wanita begitu saja sampai jatuh ke samudera terdalam.
Aku tenggelam bu, aku hanyut dalam kesedihan, aku sama seperti ibu, sama terluka karena cinta namun tetap diam dalam kepedihan.
Ahh suara petir membuyarkan konsentrasiku, hingga imajinasi dari tulisan yang kubuat terpencar kemana-mana, baru saja aku terhanyut masuk sebagai tokoh dalam tulisanku dengan peran sebagai gadis desa yang menggebu ingin mengejar cinta seorang mas nya.
Sulit untuk menyatukan kembali imajinasi fanaku, apalagi menyusun eksplorasi diksi yang berantakan ketika konsentrasiku buyar seperti ini.
Rasanya kini aku lebih baik memilih untuk menyelesaikan membaca novel karya penulis idolaku yang juga menjadi motivator dari tulisan-tulisan yang kubuat selama ini.
Ah sialnya karya dari penulis idolaku ini selalu sama dengan kisahku, lebih parahnya lagi pilihan kata ditulisannya mampu membuat hatiku getir teringat pahitnya kisahku yang terbuka karena membaca novel ini.
Sosok dalam novel itu adalah aku yang berperan sebagai wanita yang punya semangat tinggi dan memperjuangkan cintanya hingga berdarah-darah namun selalu ditinggalkan saat sedang cinta-cintanya.
Sama persis, sial. Belum sampai ending ceritanya pun aku sudah dibuat meneteskan air mata berkali-kali karena tulisan ini.
Masih penasaran pada endingnya, namun tak dapat kulanjutkan membaca karena ku dengar suara ibuku memanggil.
Ibuku memang selalu begitu, kadang memanggil disaat yang tidak begitu tepat.
Ternyata waktunya makan malam tiba, dan seperti biasanya hanya ada aku dan ibuku di meja ini, ayahku entah mungkin sedang dimeja yang berbeda bersama wanita lain.
Ibuku memulai percakapan sambil menyodori piring kearahku. Ah, sialnya perkataan ibuku benar-benar membuat nafsu makan ku hilang.
Ibuku menanyakan dia, kabarnya, mengapa akhir-akhir ini dia jarang mengunjungi, dia seseorang yang beberapa waktu lalu kukenalkan kepada ibuku sebagai kekasihku.
Apa yang harus kukatakan untuk menjawab segala pertanyaan ibu ku, masih dengan diam aku memikirkan kata apa yang harus kuucap sebagai jawaban.
Aku hanya dapat berkata, kabarnya baik dan akhir-akhir ini ia sedang lebih sibuk dari biasanya hingga jarang mengunjungi.
Namun dalam hatiku yang menangis aku menjawab pula. Ibu, tahukah ibu beberapa waktu terakhir ini hatiku sangat sedih, kondisiku amat kacau, hanya saja aku begitu berusaha berakting dan menjadi artis yang baik didepanmu. Aku tak ingin menambahkan kekhawatiran ditengah kesedihan yang kau alami karena ayah.
Ibu, tahukah apa sebab dari keterlukaan hatiku. Pria itu bu, dia yang kau tanyai telah melukaiku, setelah aku percaya akan adanya cinta setelah bertemu dengannya dalam seketika ia juga membuatku kembali tak percaya bahwa masih ada cinta yang tulus saat dia telah meninggalkanku dalam kondisi yang sedang cinta-cintanya.
Tahukah ibu apa lagi yang lebih membuatku terluka, ia pergi hanya karena ada wanita lain yang katanya lebih baik dariku bu. Ia bilang ia muak denganku wanita berkacamata yang berpenampilan seperti wanita kuno, dia bilang dia muak harus menghadapi imajinasi yang selalu kutuangkan dalam tulisanku itu. Katanya aku tidak berpotensi apa-apa untuk pantas bersanding dengannya.
Salahku apa bu, apakah salah jika aku tumbuh sebagai wanita sederhana yang apa adanya, apakah salah jika aku gila dalam imajinasiku.
Dulu katanya ia dapat menerima segala kurang dan lebihku, tapi dia ingkar bu, hingga kini aku benar-benar terluka.
Apakah pria memang seperti itu bu, sama seperti ayah juga??
Mengapa pria-pria disekitarku berperan dengan sangat jahat, apakah pria semuanya selalu begitu, para pria menyanjung wanita sampai nirwana hingga jika mereka mencapai tujuannya mereka menghempaskan para wanita begitu saja sampai jatuh ke samudera terdalam.
Aku tenggelam bu, aku hanyut dalam kesedihan, aku sama seperti ibu, sama terluka karena cinta namun tetap diam dalam kepedihan.
Komentar
Posting Komentar