Langsung ke konten utama

Hujan Badai

Sore tadi aku tiada awan gelap yang bergumal-gumpal dilangit, juga tak ada gema petir yang menggelegar namun langit menangis dengan derai hujan yang di iringi mentari yang masih bersinar terang dibagian baratnya.
Hujan reda sejenak selang beberapa waktu, tapi seperti ada isyarat tiba-tiba perlahan ku dengar gema petir yang menggelegar, diiringi kilat yang cahaya nya cukup terlihat dilangit yang sedikit demi sedikit berubah menjadi gelap, awan columbus datang dari arah timur, hitam dan bergumpal-gumpal merata dilangit yang tadinya terang.
Kini matahari benar-benar menghilang, senjanya hilang seketika, tak terlihat cahaya apapun dari atas sana.
Kubuka tirai jendela, kulihat cuaca diluar sana seperti isyarat pertanda buruk, angin bertiup melawan arah mata angin dengan hembusan yang lumayan cepat, hujan yang turun pun semakin deras hingga embun menguap dijendela kamarku menghalangi pemandangan jalan yang hanya tersinari oleh lampu jalan.
Kunikmati amukan alam ini dengan syahdu, kini aku bersembunyi dibalik selimut pinkku yang bergambar princess mermadia, aku meringkuk mengatasi dingin yang menyerang sekujur tubuhku.
Dibalik selimut kudengarkan dengan seksama ritme hujan yang makin kelamaan makin cepat.
Kuperhatikan ritmenya seperti detak jantungku siang tadi, membawaku kembali ke kondisi terburukku, dimana tepat saat aku bertemu seseorang yang tidak ku ketahui namanya.
Aku merasa detak jantungku tak beraturan, aku takut jika perasaan ini sama seperti beberapa tahun lalu ketikq aku memulai awal dari kesalahan terbesarku.
Namun perasaan itu menghantuiku,embuatku menerawang kembali sosok yang jadi persoalanku ini.
Mengapa baru hadir saja sudah membayangi seperti ini, aku tidak ingon menderita rasa ini untuk yang kesekian kali, aku tak ingin memecahkan hal yang lebih rumit dari rumus matematika ini.
Aku tak ingin mengeyahui kebenarannya kalau aku jatuh cinta lagi.
Apa iya??  Benarkah?  Kurasa ini akan menyulitkan.
Aku baru saja menikmati hidupku yang bahagia ini tanpa cinta. Cinta hanya berupa seperti hujan badai dal hidupku, apalagi cinta pada pertemuan pertama, datang tiba-tiba lalu memberantaki, mengobrak-abrik isi duniaku, memporak porandakan segala hal yang ada didalamnya lalu pergi begitu saja dengan tenang tanpa rasa bersalah.
Aku tidak ingin lagi dalam kondisi sesak tak berdaya seperti saat kehabisan amunisi dikala perang. Aku tak mau lagi menata segalanya dari awal berkali-kali, aku tak punya keberanian yang cukup untuk melawan perasaanku.
Tapi bagaimana bisa perasaanku malah menghianatiku, melakukan konspirasi pada hatiku, melawan keinginanku yang penuh akal sehat tanpa logika.
Aku tak ingin lagi berada ditengah badai hujan, biarkan aku memejamkan mata untuk menghapus bayangan sosokmu yang ingin kuketahui tapi tak ingin kuakui itu.
Hilanglah bersama badai yang lewat dan menyatu lah dengan angin yang sesaat tadi kurasakan hembusannya.
Selamat tinggal pria yang hari ini berhasil memberantaki pikiranku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketidaksengajaan Yang Diatur Tuhan

Aku tak tau ingin memulai ini dari mana. Banyak yang kurasakan, ingin kusampaikan, hingga jadi membingungkan untuk ku aksarakan. Sayang, sebelum bertemu denganmu aku sudah menjadi seorang pemimpi, sama halnya denganmu berkhayal terasa menyenangkan bagiku. Hanya saja mungkin haluan khayalan kita yang berbeda, kamu yang terlalu fantasy sedangkan aku terlalu fiksi. Aku punya banyak mimpi yang kata orang hanya bisa jadi imajinasi, tapi bagiku semua mimpi itu harus lebih nyata dari sekedar imajinasi. Bahagia, ia memang banyak dari sebabnya adalah ketika aku sedang bermimpi, berkhayal, berandai-andai tentang segala sesuatunya yang terlihat indah serta membahagiakan. Taukah kamu sayang, akhir-akhir ini aku banyak melibatkanmu dalam mimpi itu. Mungkin jika kuceritakan akan terdengar terlalu berlebihan, tapi sungguh bahwa segalanya amat menyenangkan kurasakan. Pernah kubilang bukan, bahwa aku lelah untuk memulai lagi, ku ingatkan sedikit, percakapan itu kita lakukan di pinggiran...

Kala Sore

Kala sore, Jalan itu terasa lengang Walaupun satu dua masih berlalu lalang Dua pasang kaki berdiri di pinggir trotoar Kala sore, Langit mulai terlihat kekuningan Desis daun memecah keheningan Dua bibir masih saling terbungkam Kala sore, Daun gugur diterpa angin Kicau burung meramaikan sepi Dua pasang mata menatap lirih Kala sore, Matahari mulai menghilang Seperti petang akan segera datang Dua pasang insan saling meninggalkan

Hapuslah Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu

Aku jadi ingin melakukan hal yang sama setelah membaca tulisan milik Hamsad Rangkuti yang berjudul "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu," aku begitu terlarut dengan tulisan itu. Dengan perasaan resah kuraba bibirku dengan jemari, seakan masih terasa kecupan terakhir bibirnya dibibirku. Terasa pula tangannya yang mengelus lembut rambutku ketika bibirnya masih melekat mesra dibibirku. Memang benar semua kenangan antara aku dengannya sudah kuhapus walau kadang beberapa dari memorinya muncul kembali sebagai virus yang merusak jaringan di sistem hatiku. Namun masih ada yang tertinggal dengan baik ditempatnya, bekas bibirnya yang belum terhapus masih melekat dibibirku. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya dibibirku dengan bibirmu," seperti yang dituangkan oleh Hamsad Rangkuti dalam tulisannya, aku memperkenankanmu melakukannya untukku. Tak apa lakukanlah, kecup saja bibirku dengan bibirmu, lumatlah agar bekas bibirnya benar-benar hilang dari...

Elektron

Berputar elektron, seperti muatan listrik bergerak lainnya, membuat medan magnet di sekitar mereka. Akulah medan magnet itu. Bahwa medan magnet memengaruhi cara elektron mengatur diri dalam atom dan bagaimana mereka bereaksi satu ssama lain. Seperti aku memengaruhimu, perlahan masuk dalam hidupmu, perlahan mencampuri segala urusmu, hingga yang kau ingat hanya aku, bukan dirinya sebagai milikmu.

Sepertinya Penulis Jatuh Cinta

Selamat malam hujan, aku sedang  mendengarkan suara rintikmu dari balik selimutku. Hujan, rasanya sudah lama sekali aku sibuk dengan rutinitas yang menyita waktu hingga aku tak sempat menyapamu dikala kau berlalu beberapa saat kemarin, bahkan aku mengabaikan sedikit banyak imajinasi yang biasanya menjadi alat menyampaikan perasaanku. Aku lupa cara berkata-kata dan mengatur diksi yang baik pada tulisanku, terlihat berantakan serta tak beraturan pada setiap kata yang kutuliskan. Bagaimana aku menyampaikan bahagiaku ini hujan, aku takut perkataanku salah dan tak terdengar indah. Harusnya jika aku bahagia, para pembacaku juga turut bahagia, aku takut malah menuliskan hal yang begitu melankolis diatas bahagiaku. Ah makin lama makin penuh gurauan saja, aku pun tak mengerti dengan pasti harus mengawali cerita ini dari mana. Hujan, aku bahagia. Bahagiaku karena kutemui sosok yang merasa bahagia karena hadirku. Hujan ada lagi, ternyata masih ada sosok yang merasa bahagia jika bersamaku...