Hujan apakah kau tau kepedihanku??
Aku ingin bercerita kepadamu, tapi kumohon satu hal untuk kau kabulkan. Ketika ceritaku usai tolong bawalah mereka dalam deraimu, biarkan mereka terlarut bersama aliranmu hingga menghilang tanpa sempat ada seorangpun yang tau akan ceritaku.
Hujan apakah kau tau apa yang kurasakan??
Mereka bilang aku makhluk paling bahagia, tapi mereka salah hujan.
Ketika aku tidak menangis bukan berarti aku tidak bersedih, dan ketika aku sedang tertawa bukan berarti aku berbahagia.
Mereka tidak mengerti kepedihanku, aku tidak menangis hanya karena aku terlalu bingung, begitu banyak kesedihanku, kurasa aku akan lelah jika semua hal itu harus ku tangisi satu per satu.
Selama ini mereka melihatku tertawa sebagai manusia paling bahagia. Namun bukan aku yang mereka lihat, itu hanya topeng yang menyembunyikan wajah asliku. Topeng yang amat pandai berakting memainkan perannya.
Aku hanya takut selama ini untuk menunjukkan wajah asliku. Wajah penuh penderitaan, kehancuran, kepedihan, serta kebencian yang pekat.
Hanya saja kini aku mulai lelah bersembunyi dibalik topeng itu, aku muak untuk terus menjadi aktris dikehidupanku sendiri.
Ini hidupku, tapi mengapa seolah penuh aturan dari sutradara yang menyuruhku untuk terus hidup dalam kepura-puraan. Memaksaku tertawa dikala aku ingin menangis, memaksaku tersenyum dikala air mataku seharusnya mengalir.
Aku ingin berontak, tapi apa dayaku. Kepada siapa aku harus menunjukkan wajahku jika tanpa topeng ini.
Apakah masih ada sosok yang akan menerimaku, adakah yang telinga nya bersedia untuk mendengarkan keluh kesahku, adakah bahu yang bersedia untuk dijadikan tempatku bersandar, adakah tangan yang akan bersedia merengkuh dan menarikku kedalam pelukannya.
Aku tidak percaya akan adanya sosok yang seperti itu hujan, selama ini hanya kau dan pensilku yang menjadi teman paling setia.
Hanya kau yang dapat tetap tenang mengalir mendengarkan ceritaku tanpa pernah menyela dan memberikan komentar pahit. Dan hanya pensilku yang bersedia membantuku meringankan segala bebanku lewat tulisan-tulisan tak berarti.
Hujan, selama ini aku sudah amat banyak kehilangan.
Aku tahu aku tidak akan dapat mengembalikan sesuatu yang telah hilang itu dalam bentuk apapun, yang kutahu aku hanya dapat mepertahankan apa yang kini masih aku miliki.
Tapi apa yang kumiliki kini pun aku tidak tahu, aku hanya tau jumlah sebanyak aku kehilangan.
Aku benar-benar tak ingin mengatakannya, tapi aku ingin meringankan bebanku ini.
Aku rasa aku sudah kehilangan hidupku, memang masih ada nafas yang kumiliki namun yang kutahu separuh dari jiwaku telah pergi. Ya mereka, kau tau hujan siapa mereka yang kusebut sebagai separuh jiwaku itu, bukankah aku sudah beberapa kali menceritakannya kepadamu. Ya benar, mereka adalah orang tuaku. Mereka masih ada didunia ini namun mereka meninggalkanku sejak belasan tahun lalu, mereka pergi dan menanamkan bekas luka yang tidak dapat kusembuhkan hingga kini serta meninggalkan sisa dari kenangan indah yang jika ku ingat makin menyayat luka yang kumiliki.
Sejak hari itu aku sudah tidak tahu lagi hal yang namanya bahagia.
Namun ketika aku mulai tumbuh sebagai remaja tanpa kehadiran mereka, Tuhan memberikanku sosok lain sebagai pengisi jiwa, laki-laki yang datang kepadaku memberikan kebahagiaan. Dia membuat segalanya jauh lebih baik. Namun kini dia pun sudah pergi, mengapa bahagia darinya hanya sesaat kudapatkan, malah kini ia juga meninggalkan bekas luka disamping lukaku yang belum sembuh itu. Hingga aku telah kehilangan lagi, dan jiwaku semakin keropos karenanya.
Dipersimpangan hidupku, aku pun bertemu beberapa sosok yang katanya adalah teman, hanya sama saja dan tidak mengubah apapun. Sosok itu hanya datang dan pergi seiring berjalannya waktu, menambah kenangan indah yang kian lama dapat pudar hingga berubah menjadi luka karena indahnya kurindukan.
Begitulah hidupku hujan, aku keropos, aku sendiri, aku merasa sepi. Jika dilihat dengan dekat hatiku telah tenggelam dalam debit air mataku yang selama ini tidak dapat kutumpahkan.
Hujan, aku hanya butuh pendengar, aku butuh penasihat, aku pun butuh penyemangat, dan aku butuh bahagia.
Walau sejenak, setidaknya biarkan hatiku kering dari air rendaman air mata, biarkan ia mendapatkan rasa yang namanya bahagia hingga aku dapat melepaskan topeng ini dengan wajah asliku yang tidak lagi malu untuk kuperlihatkan.
Aku ingin bercerita kepadamu, tapi kumohon satu hal untuk kau kabulkan. Ketika ceritaku usai tolong bawalah mereka dalam deraimu, biarkan mereka terlarut bersama aliranmu hingga menghilang tanpa sempat ada seorangpun yang tau akan ceritaku.
Hujan apakah kau tau apa yang kurasakan??
Mereka bilang aku makhluk paling bahagia, tapi mereka salah hujan.
Ketika aku tidak menangis bukan berarti aku tidak bersedih, dan ketika aku sedang tertawa bukan berarti aku berbahagia.
Mereka tidak mengerti kepedihanku, aku tidak menangis hanya karena aku terlalu bingung, begitu banyak kesedihanku, kurasa aku akan lelah jika semua hal itu harus ku tangisi satu per satu.
Selama ini mereka melihatku tertawa sebagai manusia paling bahagia. Namun bukan aku yang mereka lihat, itu hanya topeng yang menyembunyikan wajah asliku. Topeng yang amat pandai berakting memainkan perannya.
Aku hanya takut selama ini untuk menunjukkan wajah asliku. Wajah penuh penderitaan, kehancuran, kepedihan, serta kebencian yang pekat.
Hanya saja kini aku mulai lelah bersembunyi dibalik topeng itu, aku muak untuk terus menjadi aktris dikehidupanku sendiri.
Ini hidupku, tapi mengapa seolah penuh aturan dari sutradara yang menyuruhku untuk terus hidup dalam kepura-puraan. Memaksaku tertawa dikala aku ingin menangis, memaksaku tersenyum dikala air mataku seharusnya mengalir.
Aku ingin berontak, tapi apa dayaku. Kepada siapa aku harus menunjukkan wajahku jika tanpa topeng ini.
Apakah masih ada sosok yang akan menerimaku, adakah yang telinga nya bersedia untuk mendengarkan keluh kesahku, adakah bahu yang bersedia untuk dijadikan tempatku bersandar, adakah tangan yang akan bersedia merengkuh dan menarikku kedalam pelukannya.
Aku tidak percaya akan adanya sosok yang seperti itu hujan, selama ini hanya kau dan pensilku yang menjadi teman paling setia.
Hanya kau yang dapat tetap tenang mengalir mendengarkan ceritaku tanpa pernah menyela dan memberikan komentar pahit. Dan hanya pensilku yang bersedia membantuku meringankan segala bebanku lewat tulisan-tulisan tak berarti.
Hujan, selama ini aku sudah amat banyak kehilangan.
Aku tahu aku tidak akan dapat mengembalikan sesuatu yang telah hilang itu dalam bentuk apapun, yang kutahu aku hanya dapat mepertahankan apa yang kini masih aku miliki.
Tapi apa yang kumiliki kini pun aku tidak tahu, aku hanya tau jumlah sebanyak aku kehilangan.
Aku benar-benar tak ingin mengatakannya, tapi aku ingin meringankan bebanku ini.
Aku rasa aku sudah kehilangan hidupku, memang masih ada nafas yang kumiliki namun yang kutahu separuh dari jiwaku telah pergi. Ya mereka, kau tau hujan siapa mereka yang kusebut sebagai separuh jiwaku itu, bukankah aku sudah beberapa kali menceritakannya kepadamu. Ya benar, mereka adalah orang tuaku. Mereka masih ada didunia ini namun mereka meninggalkanku sejak belasan tahun lalu, mereka pergi dan menanamkan bekas luka yang tidak dapat kusembuhkan hingga kini serta meninggalkan sisa dari kenangan indah yang jika ku ingat makin menyayat luka yang kumiliki.
Sejak hari itu aku sudah tidak tahu lagi hal yang namanya bahagia.
Namun ketika aku mulai tumbuh sebagai remaja tanpa kehadiran mereka, Tuhan memberikanku sosok lain sebagai pengisi jiwa, laki-laki yang datang kepadaku memberikan kebahagiaan. Dia membuat segalanya jauh lebih baik. Namun kini dia pun sudah pergi, mengapa bahagia darinya hanya sesaat kudapatkan, malah kini ia juga meninggalkan bekas luka disamping lukaku yang belum sembuh itu. Hingga aku telah kehilangan lagi, dan jiwaku semakin keropos karenanya.
Dipersimpangan hidupku, aku pun bertemu beberapa sosok yang katanya adalah teman, hanya sama saja dan tidak mengubah apapun. Sosok itu hanya datang dan pergi seiring berjalannya waktu, menambah kenangan indah yang kian lama dapat pudar hingga berubah menjadi luka karena indahnya kurindukan.
Begitulah hidupku hujan, aku keropos, aku sendiri, aku merasa sepi. Jika dilihat dengan dekat hatiku telah tenggelam dalam debit air mataku yang selama ini tidak dapat kutumpahkan.
Hujan, aku hanya butuh pendengar, aku butuh penasihat, aku pun butuh penyemangat, dan aku butuh bahagia.
Walau sejenak, setidaknya biarkan hatiku kering dari air rendaman air mata, biarkan ia mendapatkan rasa yang namanya bahagia hingga aku dapat melepaskan topeng ini dengan wajah asliku yang tidak lagi malu untuk kuperlihatkan.
Komentar
Posting Komentar