Langsung ke konten utama

Empat hari Tanpamu paling Menyakitkan

Sambil memeluk rindu aku membaca ulang pesan sinģkatmu yang masih tersisa diponselku. Rasanya hambar entah bahagia atau sedih setelah membaca pesan-pesan itu.
Yang pasti kosong karena pesan-pesan seperti itu tak mungkin lagi kau kirimkan untukku.
Aku tak tau harus menanti atau pergi. Empat hari berlalu tanpa kebersamaan dan bayang-bayangmu masih lekat dihati juga fikiranku.
Mencoba melupakanmu sedikit demi sedikit, menghapus nomor ponselmu dari daftar kontakku tapi tetap saja percuma, aku hafal benar setiap angka di nomormu itu.
Menghapus beberapa foto kita dan menyisakannya sedikit diponselku juga percuma karena saat membuka dompet, masih terdapat beberapa lembar potert kita yang tersimpan didalamnya.
Rasanya segala hal yg kulakukan sia-sia saja. Kamu terlanjur ada dimana-mana dalam setiap sudut hidupku.
Apa aku harus pindah planet untuk menghindari bayang-bayangmu itu.
Kamu membuatku dungu dengan berkata ambigu.
Mengapa aku tak dapat lepas dengan cepat dari segala kenangan singkat yang cukup banyak. Padahal kamu saja sudah tak tau melangkah kemana untuk menjauhkan hal yang berhubungan denganku.
Aku benci dengan perasaan ini, tapi mengapa aku tak dapat membencimu.
Kini aku rapuh, keropos, hatiku bak dimakan rayap.
Sekarang aku harus kemana? Aku benar-benar tak tau arah. Hanya menunggu siang berganti malam dan malam menjelma jadi siang.
Dan selama itu aku hanya memandangi ponsel, masih berharap pesan singkatmu mampir keponselku.
Sampai aku hafal pesan terakhirmu untukku pukul 18:04 tanggal 27 lalu.
Sampai aku hafal terakhir percakapan via telpon kita berdurasi 4menit 6detik di tanggal 21 lalu.
Sampai aku terus menyesali mengapa aku mengabaikan telpon terakhirmu di tanggal 27 kemarin pada pukul 19:22
Hingga kini aku merasa benar-benar tak tau apa yang sedang kunanti lagi.
Barusan seperti mimpi, kamu ada dihadapanku. Kau memberi lagi harapan-harapan yang sempat hilang. Namun beberapa waktu kemudian kau menjatuhkan segalanya dengan ucapan yang berbeda lgi.
Aku rasa kamu terlalu naif, mengapa menarik ulur hatiku.
Ya lagi-lagi aku yang bodoh, dinding pertahananku yang lemah, mengapa aku begitu mudahnya percaya padahal kau baru saja melukaiku sangat dalam. Mengapa barusan ini aku membiarkanmu merengkuhku dalam pelukanmu, bahkan aku membiarkanmu mendaratkan kecupan dikeningku.
Aku terlalu terpedaya tapi kamu pun terlalu jahat. Mengapa melakukannya lagi, mengapa memberi harapan-harapan itu lagi. Setelah kufikir segalanya akan membaik kenapa kmu hempaskan begitu saja dalam hitungan menit.
Kamu benar-benar tak punya hati, sangat tak tau diri. Aku benci dirimu!
Pergi saja lah pergi !
Sesal sesal kesal aku hanya bisa menyesal !!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketidaksengajaan Yang Diatur Tuhan

Aku tak tau ingin memulai ini dari mana. Banyak yang kurasakan, ingin kusampaikan, hingga jadi membingungkan untuk ku aksarakan. Sayang, sebelum bertemu denganmu aku sudah menjadi seorang pemimpi, sama halnya denganmu berkhayal terasa menyenangkan bagiku. Hanya saja mungkin haluan khayalan kita yang berbeda, kamu yang terlalu fantasy sedangkan aku terlalu fiksi. Aku punya banyak mimpi yang kata orang hanya bisa jadi imajinasi, tapi bagiku semua mimpi itu harus lebih nyata dari sekedar imajinasi. Bahagia, ia memang banyak dari sebabnya adalah ketika aku sedang bermimpi, berkhayal, berandai-andai tentang segala sesuatunya yang terlihat indah serta membahagiakan. Taukah kamu sayang, akhir-akhir ini aku banyak melibatkanmu dalam mimpi itu. Mungkin jika kuceritakan akan terdengar terlalu berlebihan, tapi sungguh bahwa segalanya amat menyenangkan kurasakan. Pernah kubilang bukan, bahwa aku lelah untuk memulai lagi, ku ingatkan sedikit, percakapan itu kita lakukan di pinggiran...

Kala Sore

Kala sore, Jalan itu terasa lengang Walaupun satu dua masih berlalu lalang Dua pasang kaki berdiri di pinggir trotoar Kala sore, Langit mulai terlihat kekuningan Desis daun memecah keheningan Dua bibir masih saling terbungkam Kala sore, Daun gugur diterpa angin Kicau burung meramaikan sepi Dua pasang mata menatap lirih Kala sore, Matahari mulai menghilang Seperti petang akan segera datang Dua pasang insan saling meninggalkan

Hapuslah Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu

Aku jadi ingin melakukan hal yang sama setelah membaca tulisan milik Hamsad Rangkuti yang berjudul "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu," aku begitu terlarut dengan tulisan itu. Dengan perasaan resah kuraba bibirku dengan jemari, seakan masih terasa kecupan terakhir bibirnya dibibirku. Terasa pula tangannya yang mengelus lembut rambutku ketika bibirnya masih melekat mesra dibibirku. Memang benar semua kenangan antara aku dengannya sudah kuhapus walau kadang beberapa dari memorinya muncul kembali sebagai virus yang merusak jaringan di sistem hatiku. Namun masih ada yang tertinggal dengan baik ditempatnya, bekas bibirnya yang belum terhapus masih melekat dibibirku. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya dibibirku dengan bibirmu," seperti yang dituangkan oleh Hamsad Rangkuti dalam tulisannya, aku memperkenankanmu melakukannya untukku. Tak apa lakukanlah, kecup saja bibirku dengan bibirmu, lumatlah agar bekas bibirnya benar-benar hilang dari...

Elektron

Berputar elektron, seperti muatan listrik bergerak lainnya, membuat medan magnet di sekitar mereka. Akulah medan magnet itu. Bahwa medan magnet memengaruhi cara elektron mengatur diri dalam atom dan bagaimana mereka bereaksi satu ssama lain. Seperti aku memengaruhimu, perlahan masuk dalam hidupmu, perlahan mencampuri segala urusmu, hingga yang kau ingat hanya aku, bukan dirinya sebagai milikmu.

Sepertinya Penulis Jatuh Cinta

Selamat malam hujan, aku sedang  mendengarkan suara rintikmu dari balik selimutku. Hujan, rasanya sudah lama sekali aku sibuk dengan rutinitas yang menyita waktu hingga aku tak sempat menyapamu dikala kau berlalu beberapa saat kemarin, bahkan aku mengabaikan sedikit banyak imajinasi yang biasanya menjadi alat menyampaikan perasaanku. Aku lupa cara berkata-kata dan mengatur diksi yang baik pada tulisanku, terlihat berantakan serta tak beraturan pada setiap kata yang kutuliskan. Bagaimana aku menyampaikan bahagiaku ini hujan, aku takut perkataanku salah dan tak terdengar indah. Harusnya jika aku bahagia, para pembacaku juga turut bahagia, aku takut malah menuliskan hal yang begitu melankolis diatas bahagiaku. Ah makin lama makin penuh gurauan saja, aku pun tak mengerti dengan pasti harus mengawali cerita ini dari mana. Hujan, aku bahagia. Bahagiaku karena kutemui sosok yang merasa bahagia karena hadirku. Hujan ada lagi, ternyata masih ada sosok yang merasa bahagia jika bersamaku...