Hari ini panas begitu terik. Kemarau panjang melanda bumi juga hatiku. Aku fikir rasa rapuh hanya akan datang saat hujan, tapi mengapa aku rapuh di bawah terik matahari. Aku bahkan merasa rindu dengan hujan. Aku ingin bercengkrama dengan hujan dan membiarkan kesedihan ini tumpah ruah bersamanya.
Hari ini hari ke empat belas. Iya rasanya masih sama menyedihkannya seperti hari pertama saat kau pergi tanpa lambaian tangan. Hanya hari ini aku sudah cukup merelakanmu walau sesungguhnya hatiku tak ingin.
Ya namun apa daya hatiku, ia tak dapat memaksa keinginannya bukan.
Aku tak tau harus berbuat apa lagi kini untuk menyembunyikan kesedihanku. Aku sudah berusaha untuk terlihat sebahagia mungkin dimatamu juga dimata dunia.
Aku sudah berusaha untuk terlihat tak apa walaupun aku kenapa-kenapa.
Aku hanya lelah berpura-pura, aku lelah mbohongi diri.
Aku tak ingin memaksa kau hadir kembali, tapi setidaknya jangan muncul dan terus gentayangan dihati juga otakku. Aku amat tak kuasa karena penderitaan sebab ketidakbersamaan kita ini.
Empat belas hari sejak kau pergi, aku masih menderita dengan setumpuk kenangan yang belum bisa kulupakan, dan aku bahkan tak yakin akan dapat melupakannya. Apakah kau ingat, jika kita masih bersama harusnya empat hari lagi adalah sembilan bulan hubungan kita. Ya sayang sekali hari itu takkan kita lewati bersama. Mungkin hanya aku nanti yang akan berkhayal gila dihari itu untuk sedikit membuat manis kenyataan pahit itu.
Aku tak pernah menyesal mengenalmu. Kamu berhasil membuatku candu oleh segala hal tentangmu. Tapi kini aku sakau, aku tak punya lagi obat penenangku karena kamu telah pergi. Bagaimana bisa canduku ini dipaksa berhenti, bukankah seharusnya membutuhkan proses rehabilitasi. Kini rasanya begitu menyiksa, hingga teramat menyakitkan.
Aku butuh obat penenangku, aku tak dapat merasakan sakit yang luar biasa ini, aku butuh kamu.
Rasanya seperti orang gila, lebih dari sekedar kehilangan akal sehatku, jiwaku sakit.
Mengapa kamu harus datang jika kini menghilang, bukankah kamu tau jika mencari sesuatu yang hilang itu amat memusingkan, dan kamu membuatku pusing.
Mengapa kamu harus ada jika tiba-tiba tiada, bukankah kamu tau ketiadaan itu membuahkan sepi, dan kamu membuatku kesepian.
Mengapa kamu harus menghibur jika akan kabur, bukankah kamu tau hal itu akan menghasilkan kesedihan, dan kamu membuatku bersedih.
Mengapa kamu harus meninggalkan harap jika kamu akan menjatuhkannya, bukankah kamu tau itu akan terasa menyakitkan, dan kamu membuatku sakit.
Mengapa kamu harus mendekat jika pada akhirnya kamu menjauh, bukankah kamu tau jarak dapat menyebabkan hilang arah, dan kamu membuatku kehilangan arah.
Mengapa kamu harus peduli jika kini kamu jadi acuh tak acuh, bukankah kamu tau diacuhkan itu rasanya menyesakkan, dan kamu berhasil membuatku sesak.
Aku bertanya?? Mengapa tak ada satupun pertanyaan itu yang kau jawab Tuan. Baiklah tak apa, aku takkan memaksamu.
Kini aku hanya akan berterimakasih padamu. TERIMA KASIH untuk segalanya yang pernah kau berikan untukku, juga terima kasih untuk pusing, sepi, sedih, sakit, hilang arah, juga sesak yang kau berikan ini.
Terimakasih.
Hari ini hari ke empat belas. Iya rasanya masih sama menyedihkannya seperti hari pertama saat kau pergi tanpa lambaian tangan. Hanya hari ini aku sudah cukup merelakanmu walau sesungguhnya hatiku tak ingin.
Ya namun apa daya hatiku, ia tak dapat memaksa keinginannya bukan.
Aku tak tau harus berbuat apa lagi kini untuk menyembunyikan kesedihanku. Aku sudah berusaha untuk terlihat sebahagia mungkin dimatamu juga dimata dunia.
Aku sudah berusaha untuk terlihat tak apa walaupun aku kenapa-kenapa.
Aku hanya lelah berpura-pura, aku lelah mbohongi diri.
Aku tak ingin memaksa kau hadir kembali, tapi setidaknya jangan muncul dan terus gentayangan dihati juga otakku. Aku amat tak kuasa karena penderitaan sebab ketidakbersamaan kita ini.
Empat belas hari sejak kau pergi, aku masih menderita dengan setumpuk kenangan yang belum bisa kulupakan, dan aku bahkan tak yakin akan dapat melupakannya. Apakah kau ingat, jika kita masih bersama harusnya empat hari lagi adalah sembilan bulan hubungan kita. Ya sayang sekali hari itu takkan kita lewati bersama. Mungkin hanya aku nanti yang akan berkhayal gila dihari itu untuk sedikit membuat manis kenyataan pahit itu.
Aku tak pernah menyesal mengenalmu. Kamu berhasil membuatku candu oleh segala hal tentangmu. Tapi kini aku sakau, aku tak punya lagi obat penenangku karena kamu telah pergi. Bagaimana bisa canduku ini dipaksa berhenti, bukankah seharusnya membutuhkan proses rehabilitasi. Kini rasanya begitu menyiksa, hingga teramat menyakitkan.
Aku butuh obat penenangku, aku tak dapat merasakan sakit yang luar biasa ini, aku butuh kamu.
Rasanya seperti orang gila, lebih dari sekedar kehilangan akal sehatku, jiwaku sakit.
Mengapa kamu harus datang jika kini menghilang, bukankah kamu tau jika mencari sesuatu yang hilang itu amat memusingkan, dan kamu membuatku pusing.
Mengapa kamu harus ada jika tiba-tiba tiada, bukankah kamu tau ketiadaan itu membuahkan sepi, dan kamu membuatku kesepian.
Mengapa kamu harus menghibur jika akan kabur, bukankah kamu tau hal itu akan menghasilkan kesedihan, dan kamu membuatku bersedih.
Mengapa kamu harus meninggalkan harap jika kamu akan menjatuhkannya, bukankah kamu tau itu akan terasa menyakitkan, dan kamu membuatku sakit.
Mengapa kamu harus mendekat jika pada akhirnya kamu menjauh, bukankah kamu tau jarak dapat menyebabkan hilang arah, dan kamu membuatku kehilangan arah.
Mengapa kamu harus peduli jika kini kamu jadi acuh tak acuh, bukankah kamu tau diacuhkan itu rasanya menyesakkan, dan kamu berhasil membuatku sesak.
Aku bertanya?? Mengapa tak ada satupun pertanyaan itu yang kau jawab Tuan. Baiklah tak apa, aku takkan memaksamu.
Kini aku hanya akan berterimakasih padamu. TERIMA KASIH untuk segalanya yang pernah kau berikan untukku, juga terima kasih untuk pusing, sepi, sedih, sakit, hilang arah, juga sesak yang kau berikan ini.
Terimakasih.
Komentar
Posting Komentar