Langsung ke konten utama

Hanya ingin bilang "Aku Lelah"

Aku tidak mampu berbohong lagi.
Tuhan, kau tau apa saja penderitaanku serta duka hatiku. Kau pun tau jelas kondisi serta mampuku untuk menghadapi segala hal itu.
Tidak sebentar bahkan sudah cukup lama aku dikondisikan dalam keterpurukan, lalu mengapa segala hal itu tak kau mudahkan tapi malah bertambah parah kondisinya.
Aku lelah, entah sudah kali keberapa kukatakan hal itu dalam hati. Lelah yang tak pernah ku ungkapkan, lelah yang kuabaikan, lelah yang ku coba hilangkan namun tak kunjung habis.
Bukan aku sabaran tapi aku hanya ingin tau kapan segalanya membaik?
Aku hanya merasa begitu amat menyedihkan, menyimpan kemuraman durja ini lewat tulisan-tulisan cengeng seperti ini. Tak semua kutunjukkan, padahal lukaku banyak, perihku penuh, sakitku bertubi-tubi. Karena aku masih tau batasanku.
Aku cukup punya otak untuk tidak mengatakan hal yang tak pantas, tapi aku pun lelah merasa tak pantas ada diantara dunia yang menuntut kesempurnaan ini.
Bising, kedengarannya bising sekali dunia yang kutempati ini. Aku tak suka mereka yang banyak berbicara tentangku padahal mereka hanya burung beo yang mengikuti perkataan orang lain yang mereka dengar.
Tau apa orang-orang yang berkomentar itu. Hanya kau yang tahu.
Bolehkah aku bertanya? ?
Sampai kapan skenario ini kuperankan, aku pun engap berada dibalik topeng ini, topeng berparas cantik dengan bibir yang disunggingkan kedua sisinya hingga membentuk senyum simpul yang begitu manis.
Tak tau saja, dibalik paras itu ada hati yang tak berdarah namun terluka parah. Sisinya sesak tak ada ruang bernapas karena penuh oleh tekanan problema.
Menyedihkan bukan!
Aku bukan aktris, bisa saja sewaktu-waktu topeng itu terbuka jika aku sudah kehabisan napas. Nanti bisa terlihat mata sembab dibalik topeng itu dengan wajah pucat serta bibir yang membiru karena menahan kelu.
Aku ingin berherak bebas, tubuhku terasa kaku. Hidupku hanya berputar pada masalah ini dan itu bukannya bahagia ini dan itu.
Tak pantaskah aku tau yang namanya bahagia ?? Aku tau semuanya sudah ada waktunya, tapi kapan waktu untukku. Tak perlu bahagia yang berlebihan, aku hanya ingin bahagia yang sekedarnya untuk saat ini, setidaknya aku tak merasa dipusingkan oleh hal yang hanya itu-itu saja.
Aku ingin punya wajah dengan bibir yang kedua sisinya benar-benar ditarik dan bukan hanya sekedar topeng.
Kalau tidak, pinjamkan aku topeng yang lain, topeng yang parasnya berbeda, agar aku tak terlihat membosankan.
Aku lelah berpura-pura bahagia dalam ketidakbahagiaan. Atau ada dalam ketiadaan. Atau ramai dalam ketidakramaian. Atau nyaman dalam ketidaknyamanan. Atau baik dalam ketidak baikan. Pokoknya hal-hal yang bertolak belakang dengan kenyataan belaka ini.
Ahh sudahlah rasanya kata tak lagi bermakna, tulisan pun hanyalah tinta yang akan luntur, serta harapan hanyalah angan yang tak dapat tergapai.
Aku bukan menyerah, bukan juga berhenti berharap, aku hanya ingin bilang, aku lelah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketidaksengajaan Yang Diatur Tuhan

Aku tak tau ingin memulai ini dari mana. Banyak yang kurasakan, ingin kusampaikan, hingga jadi membingungkan untuk ku aksarakan. Sayang, sebelum bertemu denganmu aku sudah menjadi seorang pemimpi, sama halnya denganmu berkhayal terasa menyenangkan bagiku. Hanya saja mungkin haluan khayalan kita yang berbeda, kamu yang terlalu fantasy sedangkan aku terlalu fiksi. Aku punya banyak mimpi yang kata orang hanya bisa jadi imajinasi, tapi bagiku semua mimpi itu harus lebih nyata dari sekedar imajinasi. Bahagia, ia memang banyak dari sebabnya adalah ketika aku sedang bermimpi, berkhayal, berandai-andai tentang segala sesuatunya yang terlihat indah serta membahagiakan. Taukah kamu sayang, akhir-akhir ini aku banyak melibatkanmu dalam mimpi itu. Mungkin jika kuceritakan akan terdengar terlalu berlebihan, tapi sungguh bahwa segalanya amat menyenangkan kurasakan. Pernah kubilang bukan, bahwa aku lelah untuk memulai lagi, ku ingatkan sedikit, percakapan itu kita lakukan di pinggiran...

Kala Sore

Kala sore, Jalan itu terasa lengang Walaupun satu dua masih berlalu lalang Dua pasang kaki berdiri di pinggir trotoar Kala sore, Langit mulai terlihat kekuningan Desis daun memecah keheningan Dua bibir masih saling terbungkam Kala sore, Daun gugur diterpa angin Kicau burung meramaikan sepi Dua pasang mata menatap lirih Kala sore, Matahari mulai menghilang Seperti petang akan segera datang Dua pasang insan saling meninggalkan

Hapuslah Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu

Aku jadi ingin melakukan hal yang sama setelah membaca tulisan milik Hamsad Rangkuti yang berjudul "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu," aku begitu terlarut dengan tulisan itu. Dengan perasaan resah kuraba bibirku dengan jemari, seakan masih terasa kecupan terakhir bibirnya dibibirku. Terasa pula tangannya yang mengelus lembut rambutku ketika bibirnya masih melekat mesra dibibirku. Memang benar semua kenangan antara aku dengannya sudah kuhapus walau kadang beberapa dari memorinya muncul kembali sebagai virus yang merusak jaringan di sistem hatiku. Namun masih ada yang tertinggal dengan baik ditempatnya, bekas bibirnya yang belum terhapus masih melekat dibibirku. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya dibibirku dengan bibirmu," seperti yang dituangkan oleh Hamsad Rangkuti dalam tulisannya, aku memperkenankanmu melakukannya untukku. Tak apa lakukanlah, kecup saja bibirku dengan bibirmu, lumatlah agar bekas bibirnya benar-benar hilang dari...

Elektron

Berputar elektron, seperti muatan listrik bergerak lainnya, membuat medan magnet di sekitar mereka. Akulah medan magnet itu. Bahwa medan magnet memengaruhi cara elektron mengatur diri dalam atom dan bagaimana mereka bereaksi satu ssama lain. Seperti aku memengaruhimu, perlahan masuk dalam hidupmu, perlahan mencampuri segala urusmu, hingga yang kau ingat hanya aku, bukan dirinya sebagai milikmu.

Sepertinya Penulis Jatuh Cinta

Selamat malam hujan, aku sedang  mendengarkan suara rintikmu dari balik selimutku. Hujan, rasanya sudah lama sekali aku sibuk dengan rutinitas yang menyita waktu hingga aku tak sempat menyapamu dikala kau berlalu beberapa saat kemarin, bahkan aku mengabaikan sedikit banyak imajinasi yang biasanya menjadi alat menyampaikan perasaanku. Aku lupa cara berkata-kata dan mengatur diksi yang baik pada tulisanku, terlihat berantakan serta tak beraturan pada setiap kata yang kutuliskan. Bagaimana aku menyampaikan bahagiaku ini hujan, aku takut perkataanku salah dan tak terdengar indah. Harusnya jika aku bahagia, para pembacaku juga turut bahagia, aku takut malah menuliskan hal yang begitu melankolis diatas bahagiaku. Ah makin lama makin penuh gurauan saja, aku pun tak mengerti dengan pasti harus mengawali cerita ini dari mana. Hujan, aku bahagia. Bahagiaku karena kutemui sosok yang merasa bahagia karena hadirku. Hujan ada lagi, ternyata masih ada sosok yang merasa bahagia jika bersamaku...