Langsung ke konten utama

Rindu Terjebak Basah Bersama

Ada gemuruh yang terdengar  menggelegar, diikuti sinar kilat yang bercahaya dari langit, langit pun gelap karena putih  awan sepertinya berubah jadi kelabu.
Cuaca tak bersahabat yang dirindukan oleh tanah, rumput, pepohonan, serta seluruh penghuni jagatraya yang kehausan pada musim kemarau.
Suara riuh bahagia terdengar dari sahut-sahutan kodok yang ritmenya indah, anak-anak berlarian bersiap untuk perang tanah dibawah hujan.
Semuanya menyambut tetesan air dari langit itu dengan bersahaja.
Titik demi titik air berjatuhan bagaikan jarum-jarum patah, makin lama makin menyerbu.
Aku memandangi embun yang mulai muncul dijendela dari kamarku, makin lama makin tebal, biasanya aku suka menggambar payung pada kaca yang berembun seperti itu.
Tapi rasanya sedang tidak biasa, entah mengapa rasanya gamang padahal biasanya aku paling suka hujan. Ah tidak, sampai sekarang malah aku masih suka hujan, "hujan yang deras, bising, dan membuat basah".
Aroma debu jalanan menyeruak perlahan karena tersapu hujan, aromanya pekat sekali, "ini hujan debu atau hujan air, gumamku".
Riuhnya lalu lintas seketika terhenti, deru suara kendaraan tak lagi terdengar jelas, hanya suara hujan yang makin lama makin deras suaranya sampai ke telinga.
Aku masih gamang, masih bingung dengan perasaan ini. Mengapa tiba-tiba  ada sekecamuk cemburu dihati yang tadinya tenang ini.
Ohh...  hujan, iya aku cemburu. Aku sepertinya tidak suka melihat semuanya bersuka ria karenamu. Mereka naif, mereka itu tak tau diri, baru sekarang bersyukur karenamu hanya ketika merasa kering. Kemana mereka kemarin, saat kau terus menerus membasahi bumi, mereka mengumpatimu.
Biasanya hanya aku yang menantimu, hanya aku yang rindu bercengkrama hingga tubuhku mengigil kaku, hanya aku yang berbahagia dan bersahaja karenamu.
Ah sudahlah, cemburuku ini takkan kamu, dan mereka mengerti, lebih baik aku berimajinasi dengan hangat dibalik selimut ini.
Perasaan gamang ini harus kuhilangkan, ada angin yang barusan menerpa menghempas rambutku. Tak ada daun yang terbawa oleh angin itu, namun aroma linden semerbak lewat melintasi.
Sepertinya menyenangkan jika ada kamu disini, aku ingin bercerita tentang kecemburuanku ini, biar kamu juga cemburu karena aku mencemburui hujan.
Apa kamu tau??  "aku suka hujan".
Aku suka hujan sama seperti aku suka kamu, tapi kadarnya lebih banyak pada hujan. Ia menenangkan, meneduhkan, mengerti, dan pintar menyembunyikan.
Aku tak takut basah, aku malah suka kuyup. Tapi yang paling kusuka, jika aku terjebak hujan, "terjebak hujan bersamamu".
Menanti hujan reda sambil berbincang tentang lalu lalang yang terlihat, apalagi saat rasa dingin muncul, genggaman tanganmu itu selalu menghangatkan, "ah, aku rindu".
Sial aku rindu sekali, aku ingin terjebak basah bersamamu, menatap rintik hujan yang warnanya keperakan ketika ditimpa sinar lampu jalanan, bercengkrama mesra dipinggir jalan kota yang sibuk berharap hujan jangan berhenti, agar aku bisa terjebak lebih lama bersamamu, "sepertinya menyenangkan".
"Indah sekali".
Kapan hujan lagi??? 
Maukah terjebak basah bersamaku????

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketidaksengajaan Yang Diatur Tuhan

Aku tak tau ingin memulai ini dari mana. Banyak yang kurasakan, ingin kusampaikan, hingga jadi membingungkan untuk ku aksarakan. Sayang, sebelum bertemu denganmu aku sudah menjadi seorang pemimpi, sama halnya denganmu berkhayal terasa menyenangkan bagiku. Hanya saja mungkin haluan khayalan kita yang berbeda, kamu yang terlalu fantasy sedangkan aku terlalu fiksi. Aku punya banyak mimpi yang kata orang hanya bisa jadi imajinasi, tapi bagiku semua mimpi itu harus lebih nyata dari sekedar imajinasi. Bahagia, ia memang banyak dari sebabnya adalah ketika aku sedang bermimpi, berkhayal, berandai-andai tentang segala sesuatunya yang terlihat indah serta membahagiakan. Taukah kamu sayang, akhir-akhir ini aku banyak melibatkanmu dalam mimpi itu. Mungkin jika kuceritakan akan terdengar terlalu berlebihan, tapi sungguh bahwa segalanya amat menyenangkan kurasakan. Pernah kubilang bukan, bahwa aku lelah untuk memulai lagi, ku ingatkan sedikit, percakapan itu kita lakukan di pinggiran...

Kala Sore

Kala sore, Jalan itu terasa lengang Walaupun satu dua masih berlalu lalang Dua pasang kaki berdiri di pinggir trotoar Kala sore, Langit mulai terlihat kekuningan Desis daun memecah keheningan Dua bibir masih saling terbungkam Kala sore, Daun gugur diterpa angin Kicau burung meramaikan sepi Dua pasang mata menatap lirih Kala sore, Matahari mulai menghilang Seperti petang akan segera datang Dua pasang insan saling meninggalkan

Hapuslah Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu

Aku jadi ingin melakukan hal yang sama setelah membaca tulisan milik Hamsad Rangkuti yang berjudul "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu," aku begitu terlarut dengan tulisan itu. Dengan perasaan resah kuraba bibirku dengan jemari, seakan masih terasa kecupan terakhir bibirnya dibibirku. Terasa pula tangannya yang mengelus lembut rambutku ketika bibirnya masih melekat mesra dibibirku. Memang benar semua kenangan antara aku dengannya sudah kuhapus walau kadang beberapa dari memorinya muncul kembali sebagai virus yang merusak jaringan di sistem hatiku. Namun masih ada yang tertinggal dengan baik ditempatnya, bekas bibirnya yang belum terhapus masih melekat dibibirku. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya dibibirku dengan bibirmu," seperti yang dituangkan oleh Hamsad Rangkuti dalam tulisannya, aku memperkenankanmu melakukannya untukku. Tak apa lakukanlah, kecup saja bibirku dengan bibirmu, lumatlah agar bekas bibirnya benar-benar hilang dari...

Elektron

Berputar elektron, seperti muatan listrik bergerak lainnya, membuat medan magnet di sekitar mereka. Akulah medan magnet itu. Bahwa medan magnet memengaruhi cara elektron mengatur diri dalam atom dan bagaimana mereka bereaksi satu ssama lain. Seperti aku memengaruhimu, perlahan masuk dalam hidupmu, perlahan mencampuri segala urusmu, hingga yang kau ingat hanya aku, bukan dirinya sebagai milikmu.

Sepertinya Penulis Jatuh Cinta

Selamat malam hujan, aku sedang  mendengarkan suara rintikmu dari balik selimutku. Hujan, rasanya sudah lama sekali aku sibuk dengan rutinitas yang menyita waktu hingga aku tak sempat menyapamu dikala kau berlalu beberapa saat kemarin, bahkan aku mengabaikan sedikit banyak imajinasi yang biasanya menjadi alat menyampaikan perasaanku. Aku lupa cara berkata-kata dan mengatur diksi yang baik pada tulisanku, terlihat berantakan serta tak beraturan pada setiap kata yang kutuliskan. Bagaimana aku menyampaikan bahagiaku ini hujan, aku takut perkataanku salah dan tak terdengar indah. Harusnya jika aku bahagia, para pembacaku juga turut bahagia, aku takut malah menuliskan hal yang begitu melankolis diatas bahagiaku. Ah makin lama makin penuh gurauan saja, aku pun tak mengerti dengan pasti harus mengawali cerita ini dari mana. Hujan, aku bahagia. Bahagiaku karena kutemui sosok yang merasa bahagia karena hadirku. Hujan ada lagi, ternyata masih ada sosok yang merasa bahagia jika bersamaku...