Ada gemuruh yang terdengar menggelegar, diikuti sinar kilat yang bercahaya dari langit, langit pun gelap karena putih awan sepertinya berubah jadi kelabu.
Cuaca tak bersahabat yang dirindukan oleh tanah, rumput, pepohonan, serta seluruh penghuni jagatraya yang kehausan pada musim kemarau.
Suara riuh bahagia terdengar dari sahut-sahutan kodok yang ritmenya indah, anak-anak berlarian bersiap untuk perang tanah dibawah hujan.
Semuanya menyambut tetesan air dari langit itu dengan bersahaja.
Titik demi titik air berjatuhan bagaikan jarum-jarum patah, makin lama makin menyerbu.
Aku memandangi embun yang mulai muncul dijendela dari kamarku, makin lama makin tebal, biasanya aku suka menggambar payung pada kaca yang berembun seperti itu.
Tapi rasanya sedang tidak biasa, entah mengapa rasanya gamang padahal biasanya aku paling suka hujan. Ah tidak, sampai sekarang malah aku masih suka hujan, "hujan yang deras, bising, dan membuat basah".
Aroma debu jalanan menyeruak perlahan karena tersapu hujan, aromanya pekat sekali, "ini hujan debu atau hujan air, gumamku".
Riuhnya lalu lintas seketika terhenti, deru suara kendaraan tak lagi terdengar jelas, hanya suara hujan yang makin lama makin deras suaranya sampai ke telinga.
Aku masih gamang, masih bingung dengan perasaan ini. Mengapa tiba-tiba ada sekecamuk cemburu dihati yang tadinya tenang ini.
Ohh... hujan, iya aku cemburu. Aku sepertinya tidak suka melihat semuanya bersuka ria karenamu. Mereka naif, mereka itu tak tau diri, baru sekarang bersyukur karenamu hanya ketika merasa kering. Kemana mereka kemarin, saat kau terus menerus membasahi bumi, mereka mengumpatimu.
Biasanya hanya aku yang menantimu, hanya aku yang rindu bercengkrama hingga tubuhku mengigil kaku, hanya aku yang berbahagia dan bersahaja karenamu.
Ah sudahlah, cemburuku ini takkan kamu, dan mereka mengerti, lebih baik aku berimajinasi dengan hangat dibalik selimut ini.
Perasaan gamang ini harus kuhilangkan, ada angin yang barusan menerpa menghempas rambutku. Tak ada daun yang terbawa oleh angin itu, namun aroma linden semerbak lewat melintasi.
Sepertinya menyenangkan jika ada kamu disini, aku ingin bercerita tentang kecemburuanku ini, biar kamu juga cemburu karena aku mencemburui hujan.
Apa kamu tau?? "aku suka hujan".
Aku suka hujan sama seperti aku suka kamu, tapi kadarnya lebih banyak pada hujan. Ia menenangkan, meneduhkan, mengerti, dan pintar menyembunyikan.
Aku tak takut basah, aku malah suka kuyup. Tapi yang paling kusuka, jika aku terjebak hujan, "terjebak hujan bersamamu".
Menanti hujan reda sambil berbincang tentang lalu lalang yang terlihat, apalagi saat rasa dingin muncul, genggaman tanganmu itu selalu menghangatkan, "ah, aku rindu".
Sial aku rindu sekali, aku ingin terjebak basah bersamamu, menatap rintik hujan yang warnanya keperakan ketika ditimpa sinar lampu jalanan, bercengkrama mesra dipinggir jalan kota yang sibuk berharap hujan jangan berhenti, agar aku bisa terjebak lebih lama bersamamu, "sepertinya menyenangkan".
"Indah sekali".
Cuaca tak bersahabat yang dirindukan oleh tanah, rumput, pepohonan, serta seluruh penghuni jagatraya yang kehausan pada musim kemarau.
Suara riuh bahagia terdengar dari sahut-sahutan kodok yang ritmenya indah, anak-anak berlarian bersiap untuk perang tanah dibawah hujan.
Semuanya menyambut tetesan air dari langit itu dengan bersahaja.
Titik demi titik air berjatuhan bagaikan jarum-jarum patah, makin lama makin menyerbu.
Aku memandangi embun yang mulai muncul dijendela dari kamarku, makin lama makin tebal, biasanya aku suka menggambar payung pada kaca yang berembun seperti itu.
Tapi rasanya sedang tidak biasa, entah mengapa rasanya gamang padahal biasanya aku paling suka hujan. Ah tidak, sampai sekarang malah aku masih suka hujan, "hujan yang deras, bising, dan membuat basah".
Aroma debu jalanan menyeruak perlahan karena tersapu hujan, aromanya pekat sekali, "ini hujan debu atau hujan air, gumamku".
Riuhnya lalu lintas seketika terhenti, deru suara kendaraan tak lagi terdengar jelas, hanya suara hujan yang makin lama makin deras suaranya sampai ke telinga.
Aku masih gamang, masih bingung dengan perasaan ini. Mengapa tiba-tiba ada sekecamuk cemburu dihati yang tadinya tenang ini.
Ohh... hujan, iya aku cemburu. Aku sepertinya tidak suka melihat semuanya bersuka ria karenamu. Mereka naif, mereka itu tak tau diri, baru sekarang bersyukur karenamu hanya ketika merasa kering. Kemana mereka kemarin, saat kau terus menerus membasahi bumi, mereka mengumpatimu.
Biasanya hanya aku yang menantimu, hanya aku yang rindu bercengkrama hingga tubuhku mengigil kaku, hanya aku yang berbahagia dan bersahaja karenamu.
Ah sudahlah, cemburuku ini takkan kamu, dan mereka mengerti, lebih baik aku berimajinasi dengan hangat dibalik selimut ini.
Perasaan gamang ini harus kuhilangkan, ada angin yang barusan menerpa menghempas rambutku. Tak ada daun yang terbawa oleh angin itu, namun aroma linden semerbak lewat melintasi.
Sepertinya menyenangkan jika ada kamu disini, aku ingin bercerita tentang kecemburuanku ini, biar kamu juga cemburu karena aku mencemburui hujan.
Apa kamu tau?? "aku suka hujan".
Aku suka hujan sama seperti aku suka kamu, tapi kadarnya lebih banyak pada hujan. Ia menenangkan, meneduhkan, mengerti, dan pintar menyembunyikan.
Aku tak takut basah, aku malah suka kuyup. Tapi yang paling kusuka, jika aku terjebak hujan, "terjebak hujan bersamamu".
Menanti hujan reda sambil berbincang tentang lalu lalang yang terlihat, apalagi saat rasa dingin muncul, genggaman tanganmu itu selalu menghangatkan, "ah, aku rindu".
Sial aku rindu sekali, aku ingin terjebak basah bersamamu, menatap rintik hujan yang warnanya keperakan ketika ditimpa sinar lampu jalanan, bercengkrama mesra dipinggir jalan kota yang sibuk berharap hujan jangan berhenti, agar aku bisa terjebak lebih lama bersamamu, "sepertinya menyenangkan".
"Indah sekali".
Kapan hujan lagi???
Maukah terjebak basah bersamaku????
Komentar
Posting Komentar