Langsung ke konten utama

Tikus Tinta

Aku punya banyak cerita lewat tinta. Mulai dari goresan yang terkecil sampai dengan coretan yang menghasilkan karya. Iya, aku memang seorang amatiran, bukan penulis ternama yang karya nya banyak dipajang di Toko buku Gr*medi*.
Sampai saat ini aku masih suka bermimpi lewat tinta, walau hanya dengan menggambar daun yang gugur lalu tertiup angin, aku berharap angin yang membawa daun itu juga berhembus membawa mimpiku agar tersebar ke dunia penuh imajinasi nyata.
Baru kemarin rasanya, aku terjebak dalam mimpi buruk. Daun-daun yang kugambar tidak tertiup angin, namun ada yang menyapu dan memasukkannya dalam tong sampah. Aku begitu resah, bagaimana dengan nasib mimpi-mimpiku jika ia pun ikut terjebak diatas tumpukan daun kering yang disapu itu.
Aku tak ingin mimpiku terbakar bersama daun yang terjebak itu. Aku ingin memperjuangkannya, biarkan tanganku bergerak bebas, mengukir setiap huruf dengan tinta, berjuang dengan tulisan, menyatukan tiap kata agar punya makna yang tersampaikan, hingga tulisan ini dapat menghubungkan.
Bukan tulisan hebat, hanya coretan yang sederhana, dan kesederhanaan itu lah nafas kita, wahai para pemain tinta.
Tapi mengapa banyak dari kita yang seprofesi tidak mengerti hal itu, rasanya lebih baik sendiri dari pada bersama namun tak ada arti.
Bukankah pada mulanya ingin saling memperjuangkan profesi. Aku suka ada di dunia ini, tapi aku tidak suka mereka yang sesuka hati membuat jalan sendiri di dunia yang seharusnya bisa dilewati semua orang.
Mereka seperti tikus berdecit. Seperti tikus yang ingin berebut makanan supaya jadi penguasa, sangat mengerikan. Apa lagi tikus yang satu itu, sepertinya ia gila akan kekuasaan, lapar akan kedudukan serta haus kehormatan.
Aku tak begitu mengerti bahasa mereka, yang berbicara seperti dewa. Entah dewa atau iblis, karena sepertinya ada yang bertanduk merah.
Ia berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti manusia biasa sepertiku, namun bukan berarti ia luar biasa hanya saja ia begitu memaksa.
Mendengarnya membuatku malas berkomentar, aku tidak suka banyak bicara, aku lebih suka menulis. Aku rasa lebih baik diam, tapi aku pun ingin memperjuangkan.
Ada sesuatu yang harus kuperjuangkan, bukan hal semacam kekuasaan, namun jati diri kita sebagai pemain tinta.
Bukankah kita bebas ??? Lalu mengapa harus terima jika di ikat dengan aturan yang memaksa!  Jangan rendahkan diri kita, bukankah tinta yang membuat kita jadi terhormat. Mengapa harus seperti tikus yang ada di gedung DPR,  saling berebut hanya untuk dapat hitam diatas putih.
Hitam itu sudah milik kita, tinta itu hidup kita, coretan pun hak kita, tidak harus diatas putih agar bermakna, dikertas usang pun akan lebih berarti jika pada seharusnya.
Aku harus apa??  Perjuanganku kemarin terombang-ambing. Aku ingin berlari, namun aku takut terkejar, karena langkahku adalah coretan dari tinta hitam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketidaksengajaan Yang Diatur Tuhan

Aku tak tau ingin memulai ini dari mana. Banyak yang kurasakan, ingin kusampaikan, hingga jadi membingungkan untuk ku aksarakan. Sayang, sebelum bertemu denganmu aku sudah menjadi seorang pemimpi, sama halnya denganmu berkhayal terasa menyenangkan bagiku. Hanya saja mungkin haluan khayalan kita yang berbeda, kamu yang terlalu fantasy sedangkan aku terlalu fiksi. Aku punya banyak mimpi yang kata orang hanya bisa jadi imajinasi, tapi bagiku semua mimpi itu harus lebih nyata dari sekedar imajinasi. Bahagia, ia memang banyak dari sebabnya adalah ketika aku sedang bermimpi, berkhayal, berandai-andai tentang segala sesuatunya yang terlihat indah serta membahagiakan. Taukah kamu sayang, akhir-akhir ini aku banyak melibatkanmu dalam mimpi itu. Mungkin jika kuceritakan akan terdengar terlalu berlebihan, tapi sungguh bahwa segalanya amat menyenangkan kurasakan. Pernah kubilang bukan, bahwa aku lelah untuk memulai lagi, ku ingatkan sedikit, percakapan itu kita lakukan di pinggiran...

Kala Sore

Kala sore, Jalan itu terasa lengang Walaupun satu dua masih berlalu lalang Dua pasang kaki berdiri di pinggir trotoar Kala sore, Langit mulai terlihat kekuningan Desis daun memecah keheningan Dua bibir masih saling terbungkam Kala sore, Daun gugur diterpa angin Kicau burung meramaikan sepi Dua pasang mata menatap lirih Kala sore, Matahari mulai menghilang Seperti petang akan segera datang Dua pasang insan saling meninggalkan

Hapuslah Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu

Aku jadi ingin melakukan hal yang sama setelah membaca tulisan milik Hamsad Rangkuti yang berjudul "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu," aku begitu terlarut dengan tulisan itu. Dengan perasaan resah kuraba bibirku dengan jemari, seakan masih terasa kecupan terakhir bibirnya dibibirku. Terasa pula tangannya yang mengelus lembut rambutku ketika bibirnya masih melekat mesra dibibirku. Memang benar semua kenangan antara aku dengannya sudah kuhapus walau kadang beberapa dari memorinya muncul kembali sebagai virus yang merusak jaringan di sistem hatiku. Namun masih ada yang tertinggal dengan baik ditempatnya, bekas bibirnya yang belum terhapus masih melekat dibibirku. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya dibibirku dengan bibirmu," seperti yang dituangkan oleh Hamsad Rangkuti dalam tulisannya, aku memperkenankanmu melakukannya untukku. Tak apa lakukanlah, kecup saja bibirku dengan bibirmu, lumatlah agar bekas bibirnya benar-benar hilang dari...

Elektron

Berputar elektron, seperti muatan listrik bergerak lainnya, membuat medan magnet di sekitar mereka. Akulah medan magnet itu. Bahwa medan magnet memengaruhi cara elektron mengatur diri dalam atom dan bagaimana mereka bereaksi satu ssama lain. Seperti aku memengaruhimu, perlahan masuk dalam hidupmu, perlahan mencampuri segala urusmu, hingga yang kau ingat hanya aku, bukan dirinya sebagai milikmu.

Sepertinya Penulis Jatuh Cinta

Selamat malam hujan, aku sedang  mendengarkan suara rintikmu dari balik selimutku. Hujan, rasanya sudah lama sekali aku sibuk dengan rutinitas yang menyita waktu hingga aku tak sempat menyapamu dikala kau berlalu beberapa saat kemarin, bahkan aku mengabaikan sedikit banyak imajinasi yang biasanya menjadi alat menyampaikan perasaanku. Aku lupa cara berkata-kata dan mengatur diksi yang baik pada tulisanku, terlihat berantakan serta tak beraturan pada setiap kata yang kutuliskan. Bagaimana aku menyampaikan bahagiaku ini hujan, aku takut perkataanku salah dan tak terdengar indah. Harusnya jika aku bahagia, para pembacaku juga turut bahagia, aku takut malah menuliskan hal yang begitu melankolis diatas bahagiaku. Ah makin lama makin penuh gurauan saja, aku pun tak mengerti dengan pasti harus mengawali cerita ini dari mana. Hujan, aku bahagia. Bahagiaku karena kutemui sosok yang merasa bahagia karena hadirku. Hujan ada lagi, ternyata masih ada sosok yang merasa bahagia jika bersamaku...