Langsung ke konten utama

Desember Hujan

Tenang saja, aku yakin ini bukan air mata
Aku tahu ini hanya tetes hujan yang dengan sengaja membasahi pipi


Terasa dingin,  aku membiarkan tumbuhku dicumbui angin.  Aku menyukainya,  angin dengan aroma khas hujan,  jelas sekali ini tanda akan turun hujan lagi.
Iya ini memang sudah musim penghujan,  mengingat musim ini jadi teringat "Desember Hujan" ditahun lalu.
Ya sudah dua kali kita mendapati musim hujan dalam kebersamaan,  namun musim hujan kali ini kurasa amat berbeda.
"dulu ada yang bersedia basah bersamaku, dulu ada yang memperjuangkanku, dulu masih ada kebahagian yang tersisa meski tak banyak, dulu ada penyemangat, dulu ada sahabat,  dulu sedikit lebih indah".

Tak ada gairah,  aku benar-benar tak tau harus berbuat apa,  rasanya lelah,  dan ingin menyerah.
Tapi mengapa terasa amat sia-sia,  dalam sekejap segalanya hilang,  mengapa hilang lagi padahal sebelumnya sudah hilang banyak,. Harus sebanyak apa lagi yang hilang,  harus sebanyak apa yang pergi,  apa harus terus begini.
Kenapa semua yang dekat seketika menjauh,  begitu menyakitkan rasanya.  Dihianati orang terdekat,  dikecewakan orang tersayang,  ditinggalkan orang yang menjadi penguat.
Tadinya rapuh,  sampai kini akhirnya pecah,  berserakan,  "iya itu hatiku".

Tak ingin terlihat lemah namun sungguh aku tak sanggup lagi menyembunyikan ketidakberdayaan ini.
Menjadi asing dilingkungan terdekat, menjadi seperti orang bodoh yang tak punya siapa-siapa.
Aku ingin lari,  tapi kaki ini terlalu lelah untuk berdiri.
Aku ingin pergi,  tapi diri ini tak punya tempat sembunyi.

Aku butuh penopang,  tapi aku tak siap jika itu hanya sebuah tembok,  aku takut tembok itu runtuh. "padahal aku saja rapuh".
Sudahlah,  aku tak ingin apa-apa lagi.
Aku ingin satu hal yang terakhir,  aku janji hanya ingin ini,  sebenarnya ini permintaan lama yang kuinginkan lagi.
Sekali lagi hanya ini,  "aku ingin pucat pasi".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketidaksengajaan Yang Diatur Tuhan

Aku tak tau ingin memulai ini dari mana. Banyak yang kurasakan, ingin kusampaikan, hingga jadi membingungkan untuk ku aksarakan. Sayang, sebelum bertemu denganmu aku sudah menjadi seorang pemimpi, sama halnya denganmu berkhayal terasa menyenangkan bagiku. Hanya saja mungkin haluan khayalan kita yang berbeda, kamu yang terlalu fantasy sedangkan aku terlalu fiksi. Aku punya banyak mimpi yang kata orang hanya bisa jadi imajinasi, tapi bagiku semua mimpi itu harus lebih nyata dari sekedar imajinasi. Bahagia, ia memang banyak dari sebabnya adalah ketika aku sedang bermimpi, berkhayal, berandai-andai tentang segala sesuatunya yang terlihat indah serta membahagiakan. Taukah kamu sayang, akhir-akhir ini aku banyak melibatkanmu dalam mimpi itu. Mungkin jika kuceritakan akan terdengar terlalu berlebihan, tapi sungguh bahwa segalanya amat menyenangkan kurasakan. Pernah kubilang bukan, bahwa aku lelah untuk memulai lagi, ku ingatkan sedikit, percakapan itu kita lakukan di pinggiran...

Kala Sore

Kala sore, Jalan itu terasa lengang Walaupun satu dua masih berlalu lalang Dua pasang kaki berdiri di pinggir trotoar Kala sore, Langit mulai terlihat kekuningan Desis daun memecah keheningan Dua bibir masih saling terbungkam Kala sore, Daun gugur diterpa angin Kicau burung meramaikan sepi Dua pasang mata menatap lirih Kala sore, Matahari mulai menghilang Seperti petang akan segera datang Dua pasang insan saling meninggalkan

Hapuslah Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu

Aku jadi ingin melakukan hal yang sama setelah membaca tulisan milik Hamsad Rangkuti yang berjudul "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu," aku begitu terlarut dengan tulisan itu. Dengan perasaan resah kuraba bibirku dengan jemari, seakan masih terasa kecupan terakhir bibirnya dibibirku. Terasa pula tangannya yang mengelus lembut rambutku ketika bibirnya masih melekat mesra dibibirku. Memang benar semua kenangan antara aku dengannya sudah kuhapus walau kadang beberapa dari memorinya muncul kembali sebagai virus yang merusak jaringan di sistem hatiku. Namun masih ada yang tertinggal dengan baik ditempatnya, bekas bibirnya yang belum terhapus masih melekat dibibirku. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya dibibirku dengan bibirmu," seperti yang dituangkan oleh Hamsad Rangkuti dalam tulisannya, aku memperkenankanmu melakukannya untukku. Tak apa lakukanlah, kecup saja bibirku dengan bibirmu, lumatlah agar bekas bibirnya benar-benar hilang dari...

Elektron

Berputar elektron, seperti muatan listrik bergerak lainnya, membuat medan magnet di sekitar mereka. Akulah medan magnet itu. Bahwa medan magnet memengaruhi cara elektron mengatur diri dalam atom dan bagaimana mereka bereaksi satu ssama lain. Seperti aku memengaruhimu, perlahan masuk dalam hidupmu, perlahan mencampuri segala urusmu, hingga yang kau ingat hanya aku, bukan dirinya sebagai milikmu.

Sepertinya Penulis Jatuh Cinta

Selamat malam hujan, aku sedang  mendengarkan suara rintikmu dari balik selimutku. Hujan, rasanya sudah lama sekali aku sibuk dengan rutinitas yang menyita waktu hingga aku tak sempat menyapamu dikala kau berlalu beberapa saat kemarin, bahkan aku mengabaikan sedikit banyak imajinasi yang biasanya menjadi alat menyampaikan perasaanku. Aku lupa cara berkata-kata dan mengatur diksi yang baik pada tulisanku, terlihat berantakan serta tak beraturan pada setiap kata yang kutuliskan. Bagaimana aku menyampaikan bahagiaku ini hujan, aku takut perkataanku salah dan tak terdengar indah. Harusnya jika aku bahagia, para pembacaku juga turut bahagia, aku takut malah menuliskan hal yang begitu melankolis diatas bahagiaku. Ah makin lama makin penuh gurauan saja, aku pun tak mengerti dengan pasti harus mengawali cerita ini dari mana. Hujan, aku bahagia. Bahagiaku karena kutemui sosok yang merasa bahagia karena hadirku. Hujan ada lagi, ternyata masih ada sosok yang merasa bahagia jika bersamaku...