Aku fikir aku punya kamu, nyatanya kamu masih seperti angin.
Apa yang aku harapkan, selain sekedar sapaan selamat malam darimu.
Beberapa hari ini aku merasa amat lelah, menjalani hari sambil menunggu kamu yang baunya hampir kulupa.
Cepat-cepat kudekapi kamu dalam semu yang barusan diterpa angin, aku tak ingin kamu terbang lagi, atau bahkan mengepakkan sayap terlalu tinggi hingga kau tak dapat lagi kuraih.
Hari ini aku merasa begitu tolol, menatapi layar ponsel yang bahkan layarnya sama sekali tak berkedip, menunggu beberapa pesan singkat yang biasanya menjadi penyemangat darimu, menununggu ditepi jalan berharap temu atau hanya untuk sekedar melihatmu lewat.
Namun nyatanya kamu begitu semu, tak tersentuh bagai kabut.
Aku mulai membenci perasaanku saat ini, perasaan yang dipenuhi pikiran-pikiran kusut, aku takut kamu hilang, kamu pergi, kamu berpaling, atau kamu melakukan entah apa yang membuat hati ini seperti terhimpit batu.
Sesak, yah seperti itu. Sesak ini tak akan kamu mengerti, mungkin kamu menganggapku berlebihan atau menjijikan, tapi ya begitu. Hatiku amat sesak, sesak yang sebabnya pun belum jelas, tapi aku tau, aku sedang khawatir.
Entah apa yang ku khawatirkan. Mungkin kamu, atau perasaanmu yang memudar, bisa juga keadaanmu, atau malah kondisimu, bisa jadi kamu yang tak peduli lagi tentangku.
Aku hanya rindu kamu, atau bahkan asap rokokmu yang membuatku batuk.
Aku yang terlalu perasa, atau memang kenyataannya kamu berubah, apa salahku yang merasa kehilangan disaat kamu yang membiasakan setiap ada kamu ada aku.
Lalu kini aku harus apa jika tiba-tiba kamu tak ingin lagi kebersamaan itu terjalin.
Aku tak mau seperti tolol yang seharian menghibur diri hanya untuk tak lagi peduli kabarmu, mencari kesenangan dengan candaan yang hambar hanya untuk membiasakan diri tanpa adanya tawamu, menyibukkan diri diwaktu yang tersisa banyak setelah kuliah yang biasanya kuhabiskan denganmu.
Aku tak suka itu, aku tak suka kamu yang ada tapi semu, aku tak suka menjadi tolol, aku tak suka menunggu, aku tak suka berharap dalam kecemasan, aku lelah untuk semua itu.
Aku tak mengerti pola pikirmu, mana bisa kau memaksaku untuk paham hal yang tak kau jelaskan, aku tak sejenius itu dan hatiku tak setegar itu.
Rapuh yang kututupi pun tidak menjadikanku kuat begitu saja, tangis yang kutahan pun tak mengubahnya menjadi tawa dalam seketika.
Tolong, jangan biarkan aku terbang bersama daun kering, jangan hempaskan dari ketinggian yang jauh dari permukaan.
Aku tak sekuat perkiraanmu, bila yang kau pikirkan hanya untuk membanting perasaan yang ku junjung setinggi mungkin untukmu.
Terserahlah kau ingin apa, tapi jangan coba menjadi Tuhan.
Kau tak begitu pantas untuk jadi tempatku memohon, kau tak begitu tinggi untuk kudambakan, jadi kumohon jangan meninggikan dirimu.
Aku suka kamu tanpa alasan, seperti saat awal perkenalan kita yang sederhana, aku bahkan rindu chat-mu diawal perkenalan kita.
Aku tak suka perubahan yang membuatku kehilangan hangatmu, aku tak suka kamu yang tak dapat kupahami. Dimana kamu yang kutau, kamu yang peduli padaku bahkan disaat aku merajuk.
Kembalilah sederhana untuk kucintai, kembalilah peduli untuk saling mengerti, aku sudah memberi jeda, tapi mengapa kau tak kunjung kembali untuk meneruskan alinea berikutnya.
Apakau tau aku lebih menyukai tanda koma daripada titik pada tulisanku. Karena aku tau, dibalik koma pasti ada cerita selanjutnya untuk kuteruskan, tidak seperti titik yang biasanya untuk mengakhiri.
Oleh sebabnya aku memberimu jeda untuk berhenti bukannya memberimu kesempatan untuk mengakiri. Jadi segeralah lanjutkan cerita tentang kita, dan biarkan aku menulisnya.
Jangan lari dan membuatku bercerita sendiri, karena pena hitamku takkan mengukir kata yang indah tanpa adanya cerita darimu.
Apa yang aku harapkan, selain sekedar sapaan selamat malam darimu.
Beberapa hari ini aku merasa amat lelah, menjalani hari sambil menunggu kamu yang baunya hampir kulupa.
Cepat-cepat kudekapi kamu dalam semu yang barusan diterpa angin, aku tak ingin kamu terbang lagi, atau bahkan mengepakkan sayap terlalu tinggi hingga kau tak dapat lagi kuraih.
Hari ini aku merasa begitu tolol, menatapi layar ponsel yang bahkan layarnya sama sekali tak berkedip, menunggu beberapa pesan singkat yang biasanya menjadi penyemangat darimu, menununggu ditepi jalan berharap temu atau hanya untuk sekedar melihatmu lewat.
Namun nyatanya kamu begitu semu, tak tersentuh bagai kabut.
Aku mulai membenci perasaanku saat ini, perasaan yang dipenuhi pikiran-pikiran kusut, aku takut kamu hilang, kamu pergi, kamu berpaling, atau kamu melakukan entah apa yang membuat hati ini seperti terhimpit batu.
Sesak, yah seperti itu. Sesak ini tak akan kamu mengerti, mungkin kamu menganggapku berlebihan atau menjijikan, tapi ya begitu. Hatiku amat sesak, sesak yang sebabnya pun belum jelas, tapi aku tau, aku sedang khawatir.
Entah apa yang ku khawatirkan. Mungkin kamu, atau perasaanmu yang memudar, bisa juga keadaanmu, atau malah kondisimu, bisa jadi kamu yang tak peduli lagi tentangku.
Aku hanya rindu kamu, atau bahkan asap rokokmu yang membuatku batuk.
Aku yang terlalu perasa, atau memang kenyataannya kamu berubah, apa salahku yang merasa kehilangan disaat kamu yang membiasakan setiap ada kamu ada aku.
Lalu kini aku harus apa jika tiba-tiba kamu tak ingin lagi kebersamaan itu terjalin.
Aku tak mau seperti tolol yang seharian menghibur diri hanya untuk tak lagi peduli kabarmu, mencari kesenangan dengan candaan yang hambar hanya untuk membiasakan diri tanpa adanya tawamu, menyibukkan diri diwaktu yang tersisa banyak setelah kuliah yang biasanya kuhabiskan denganmu.
Aku tak suka itu, aku tak suka kamu yang ada tapi semu, aku tak suka menjadi tolol, aku tak suka menunggu, aku tak suka berharap dalam kecemasan, aku lelah untuk semua itu.
Aku tak mengerti pola pikirmu, mana bisa kau memaksaku untuk paham hal yang tak kau jelaskan, aku tak sejenius itu dan hatiku tak setegar itu.
Rapuh yang kututupi pun tidak menjadikanku kuat begitu saja, tangis yang kutahan pun tak mengubahnya menjadi tawa dalam seketika.
Tolong, jangan biarkan aku terbang bersama daun kering, jangan hempaskan dari ketinggian yang jauh dari permukaan.
Aku tak sekuat perkiraanmu, bila yang kau pikirkan hanya untuk membanting perasaan yang ku junjung setinggi mungkin untukmu.
Terserahlah kau ingin apa, tapi jangan coba menjadi Tuhan.
Kau tak begitu pantas untuk jadi tempatku memohon, kau tak begitu tinggi untuk kudambakan, jadi kumohon jangan meninggikan dirimu.
Aku suka kamu tanpa alasan, seperti saat awal perkenalan kita yang sederhana, aku bahkan rindu chat-mu diawal perkenalan kita.
Aku tak suka perubahan yang membuatku kehilangan hangatmu, aku tak suka kamu yang tak dapat kupahami. Dimana kamu yang kutau, kamu yang peduli padaku bahkan disaat aku merajuk.
Kembalilah sederhana untuk kucintai, kembalilah peduli untuk saling mengerti, aku sudah memberi jeda, tapi mengapa kau tak kunjung kembali untuk meneruskan alinea berikutnya.
Apakau tau aku lebih menyukai tanda koma daripada titik pada tulisanku. Karena aku tau, dibalik koma pasti ada cerita selanjutnya untuk kuteruskan, tidak seperti titik yang biasanya untuk mengakhiri.
Oleh sebabnya aku memberimu jeda untuk berhenti bukannya memberimu kesempatan untuk mengakiri. Jadi segeralah lanjutkan cerita tentang kita, dan biarkan aku menulisnya.
Jangan lari dan membuatku bercerita sendiri, karena pena hitamku takkan mengukir kata yang indah tanpa adanya cerita darimu.
Komentar
Posting Komentar