Langsung ke konten utama

JEDA

Aku fikir aku punya kamu, nyatanya kamu masih seperti angin.

Apa yang aku harapkan, selain sekedar sapaan selamat malam darimu.
Beberapa hari ini aku merasa amat lelah, menjalani hari sambil menunggu kamu yang baunya hampir kulupa.
Cepat-cepat kudekapi kamu dalam semu yang barusan diterpa angin, aku tak ingin kamu terbang lagi, atau bahkan mengepakkan sayap terlalu tinggi hingga kau tak dapat lagi kuraih.
Hari ini aku merasa begitu tolol, menatapi layar ponsel yang bahkan layarnya sama sekali tak berkedip, menunggu beberapa pesan singkat yang biasanya menjadi penyemangat darimu, menununggu ditepi jalan berharap temu atau hanya untuk sekedar melihatmu lewat.
Namun nyatanya kamu begitu semu, tak tersentuh bagai kabut.
Aku mulai membenci perasaanku saat ini, perasaan yang dipenuhi pikiran-pikiran kusut, aku takut kamu hilang, kamu pergi, kamu berpaling, atau kamu melakukan entah apa yang membuat hati ini seperti terhimpit batu.
Sesak, yah seperti itu. Sesak ini tak akan kamu mengerti, mungkin kamu menganggapku berlebihan atau menjijikan, tapi ya begitu. Hatiku amat sesak, sesak yang sebabnya pun belum jelas, tapi aku tau, aku sedang khawatir.
Entah apa yang ku khawatirkan. Mungkin kamu, atau perasaanmu yang memudar, bisa juga keadaanmu, atau malah kondisimu, bisa jadi kamu yang tak peduli lagi tentangku.
Aku hanya  rindu kamu, atau bahkan asap rokokmu yang membuatku batuk.
Aku yang terlalu perasa, atau memang kenyataannya kamu berubah, apa salahku yang merasa kehilangan disaat kamu yang membiasakan setiap ada kamu ada aku.
Lalu kini aku harus apa jika tiba-tiba kamu tak ingin lagi kebersamaan itu terjalin.
Aku tak mau seperti tolol yang seharian menghibur diri hanya untuk tak lagi peduli kabarmu, mencari kesenangan dengan candaan yang hambar hanya untuk membiasakan diri tanpa adanya tawamu, menyibukkan diri diwaktu yang tersisa banyak setelah kuliah yang biasanya kuhabiskan denganmu.
Aku tak suka itu, aku tak suka kamu yang ada tapi semu, aku tak suka menjadi tolol, aku tak suka menunggu, aku tak suka berharap dalam kecemasan, aku lelah untuk semua itu.
Aku tak mengerti pola pikirmu, mana bisa kau memaksaku untuk paham hal yang tak kau jelaskan, aku tak sejenius itu dan hatiku tak setegar itu.
Rapuh yang kututupi pun tidak menjadikanku kuat begitu saja, tangis yang kutahan pun tak mengubahnya menjadi tawa dalam seketika.
Tolong, jangan biarkan aku terbang bersama daun kering, jangan hempaskan dari ketinggian yang jauh dari permukaan.
Aku tak sekuat perkiraanmu, bila yang kau pikirkan hanya untuk membanting perasaan yang ku junjung setinggi mungkin untukmu.
Terserahlah kau ingin apa, tapi jangan coba menjadi Tuhan.
Kau tak begitu pantas untuk jadi tempatku memohon, kau tak begitu tinggi untuk kudambakan, jadi kumohon jangan meninggikan dirimu.
Aku suka kamu tanpa alasan, seperti saat awal perkenalan kita yang sederhana, aku bahkan rindu chat-mu diawal perkenalan kita.
Aku tak suka perubahan yang membuatku kehilangan hangatmu, aku tak suka kamu yang tak dapat kupahami. Dimana kamu yang kutau, kamu yang peduli padaku bahkan disaat aku merajuk.
Kembalilah sederhana untuk kucintai, kembalilah peduli untuk saling mengerti, aku sudah memberi jeda, tapi mengapa kau tak kunjung kembali untuk meneruskan alinea berikutnya.
Apakau tau aku lebih menyukai tanda koma daripada titik pada tulisanku. Karena aku tau, dibalik koma pasti ada cerita selanjutnya untuk kuteruskan, tidak seperti titik yang biasanya untuk mengakhiri.
Oleh sebabnya aku memberimu jeda untuk berhenti bukannya memberimu kesempatan untuk mengakiri. Jadi segeralah lanjutkan cerita tentang kita, dan biarkan aku menulisnya.
Jangan lari dan membuatku bercerita sendiri, karena pena hitamku takkan mengukir kata yang indah tanpa adanya cerita darimu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketidaksengajaan Yang Diatur Tuhan

Aku tak tau ingin memulai ini dari mana. Banyak yang kurasakan, ingin kusampaikan, hingga jadi membingungkan untuk ku aksarakan. Sayang, sebelum bertemu denganmu aku sudah menjadi seorang pemimpi, sama halnya denganmu berkhayal terasa menyenangkan bagiku. Hanya saja mungkin haluan khayalan kita yang berbeda, kamu yang terlalu fantasy sedangkan aku terlalu fiksi. Aku punya banyak mimpi yang kata orang hanya bisa jadi imajinasi, tapi bagiku semua mimpi itu harus lebih nyata dari sekedar imajinasi. Bahagia, ia memang banyak dari sebabnya adalah ketika aku sedang bermimpi, berkhayal, berandai-andai tentang segala sesuatunya yang terlihat indah serta membahagiakan. Taukah kamu sayang, akhir-akhir ini aku banyak melibatkanmu dalam mimpi itu. Mungkin jika kuceritakan akan terdengar terlalu berlebihan, tapi sungguh bahwa segalanya amat menyenangkan kurasakan. Pernah kubilang bukan, bahwa aku lelah untuk memulai lagi, ku ingatkan sedikit, percakapan itu kita lakukan di pinggiran...

Kala Sore

Kala sore, Jalan itu terasa lengang Walaupun satu dua masih berlalu lalang Dua pasang kaki berdiri di pinggir trotoar Kala sore, Langit mulai terlihat kekuningan Desis daun memecah keheningan Dua bibir masih saling terbungkam Kala sore, Daun gugur diterpa angin Kicau burung meramaikan sepi Dua pasang mata menatap lirih Kala sore, Matahari mulai menghilang Seperti petang akan segera datang Dua pasang insan saling meninggalkan

Hapuslah Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu

Aku jadi ingin melakukan hal yang sama setelah membaca tulisan milik Hamsad Rangkuti yang berjudul "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu," aku begitu terlarut dengan tulisan itu. Dengan perasaan resah kuraba bibirku dengan jemari, seakan masih terasa kecupan terakhir bibirnya dibibirku. Terasa pula tangannya yang mengelus lembut rambutku ketika bibirnya masih melekat mesra dibibirku. Memang benar semua kenangan antara aku dengannya sudah kuhapus walau kadang beberapa dari memorinya muncul kembali sebagai virus yang merusak jaringan di sistem hatiku. Namun masih ada yang tertinggal dengan baik ditempatnya, bekas bibirnya yang belum terhapus masih melekat dibibirku. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya dibibirku dengan bibirmu," seperti yang dituangkan oleh Hamsad Rangkuti dalam tulisannya, aku memperkenankanmu melakukannya untukku. Tak apa lakukanlah, kecup saja bibirku dengan bibirmu, lumatlah agar bekas bibirnya benar-benar hilang dari...

Elektron

Berputar elektron, seperti muatan listrik bergerak lainnya, membuat medan magnet di sekitar mereka. Akulah medan magnet itu. Bahwa medan magnet memengaruhi cara elektron mengatur diri dalam atom dan bagaimana mereka bereaksi satu ssama lain. Seperti aku memengaruhimu, perlahan masuk dalam hidupmu, perlahan mencampuri segala urusmu, hingga yang kau ingat hanya aku, bukan dirinya sebagai milikmu.

Sepertinya Penulis Jatuh Cinta

Selamat malam hujan, aku sedang  mendengarkan suara rintikmu dari balik selimutku. Hujan, rasanya sudah lama sekali aku sibuk dengan rutinitas yang menyita waktu hingga aku tak sempat menyapamu dikala kau berlalu beberapa saat kemarin, bahkan aku mengabaikan sedikit banyak imajinasi yang biasanya menjadi alat menyampaikan perasaanku. Aku lupa cara berkata-kata dan mengatur diksi yang baik pada tulisanku, terlihat berantakan serta tak beraturan pada setiap kata yang kutuliskan. Bagaimana aku menyampaikan bahagiaku ini hujan, aku takut perkataanku salah dan tak terdengar indah. Harusnya jika aku bahagia, para pembacaku juga turut bahagia, aku takut malah menuliskan hal yang begitu melankolis diatas bahagiaku. Ah makin lama makin penuh gurauan saja, aku pun tak mengerti dengan pasti harus mengawali cerita ini dari mana. Hujan, aku bahagia. Bahagiaku karena kutemui sosok yang merasa bahagia karena hadirku. Hujan ada lagi, ternyata masih ada sosok yang merasa bahagia jika bersamaku...