Hujan sore tadi menemaninya pulang, tak ada kamu, tak ada pula dia "kekasihnya".
Aku tau dia sengaja pulang disaat hujan belum sepenuhnya reda, aku tau dia suka berjalan dibawah langit yang basah.
Aku sama sepertinya, sama-sama suka hujan, suka aroma debu yang mengubar saat hujan turun dengan deras secara tiba-tiba.
Tidak dingin menurutnya, yah aku tau karena hatinya lebih dingin dari tubuhnya yang basah itu. Sambil berjalan ia menengadahkan tangannya, untuk menampung air yang jatuh dari semesta, ia suka memandangi air yang mengalir melalui celah-celah jarinya, sama halnya seperti ia suka memandangimu "ketidakmungkinan yang masih ia semogakan".
Hatinya sedang sakit, bukan lidahnya yang bicara, tapi tatap matanya menyiratkan itu. Banyak hal yang harus ia lalui walaupun itu sulit "sesungguhnya ia butuh semangat darimu".
Aku tau, sulit baginya untuk meniadakan kamu, walau dari celah tersempit di bagian hatinya. Itu yang lebih sulit, karena kamu tersembunyi, rasa untukmu yang paling aman, tidak menguap, dan tidak larut bersama kenangan yang harusnya dibuang.
Dia hanya rindu kamu, pelariannya sedang mengabaikannya. Dia lelah terlalu banyak hati yang harus ia jaga sampai ia sendiri tak peduli akan hatinya. Entah hitam, mungkin hancur, atau terbelah dan tercecer bentuk hatinya, ia pun tak tau, yang ia tau rasanya sesak, begitu katanya.
Bukan takut berpapasan ditengah pelarian menurutnya, kurasa ia malah tak bisa berlari dan malah kehabisan nafas untuk berjalan. Dia kehabisan oksigen, makin diam ditempat dadanya makin terhimpit dan lehernya makin tercekik.
Apa yang harus ia korbankan lagi, perasaannya sudah diabaikannya.
Perasaanmu, perasaan kekasihnya, perasaan temannya yang menyukaimu, perasaan temanmu yang menyukainya, perasaan orang yang ia ketahui menyukaimu.
Ia menjaga semua itu, ia menjaga perasaan orang-orang yang bahkan tak tau betapa menderitanya perasaan miliknya, bahkan mereka tak tau kalau ada dia yang sedang menjaga hati mereka.
Dia tak ingin kamu disalahkan atas perasaannya, dia tak ingin kamu dicemburui, dia tak ingin kamu dilukai kekasihnya, dia tak ingin kekasihnya terluka, dia tak ingin jadi orang yang mudah mengabaikan, dia tak ingin temannya tahu perasaannya padamu, dia tak ingin temannya menjadi sama terluka, dia tak ingin temanmu merasa tak adil jika temanmu tau perasaannya hanya untukmu, dia tak ingin menyakitinya, dia tak ingin orang-orang disekitarmu menganggapmu tidak bijaksana, dia tak ingin kamu terlihat buruk.
Dia tak ingin menyakiti, namun dirinya terlalu tolol hingga membiarkan hatinya yang jadi tumpuan rasa sakit itu.
Aku tau sakitnya lebih dari tertusuk ribuan jarum tepat di ulu hati, namun dia bisa apa, menangis pun tak akan mengubah segalanya walau itu sedikit melegakan.
Dia butuh kamu, setidaknya pinjami saja ia bahu untuk mulai bercerita untuk menggantikan air mata. Kamu dimana, apakah kamu masih ingin memayunginya, atau malah meninggalkannya dibawah derasnya hujan.
Aku tau dia sengaja pulang disaat hujan belum sepenuhnya reda, aku tau dia suka berjalan dibawah langit yang basah.
Aku sama sepertinya, sama-sama suka hujan, suka aroma debu yang mengubar saat hujan turun dengan deras secara tiba-tiba.
Tidak dingin menurutnya, yah aku tau karena hatinya lebih dingin dari tubuhnya yang basah itu. Sambil berjalan ia menengadahkan tangannya, untuk menampung air yang jatuh dari semesta, ia suka memandangi air yang mengalir melalui celah-celah jarinya, sama halnya seperti ia suka memandangimu "ketidakmungkinan yang masih ia semogakan".
Hatinya sedang sakit, bukan lidahnya yang bicara, tapi tatap matanya menyiratkan itu. Banyak hal yang harus ia lalui walaupun itu sulit "sesungguhnya ia butuh semangat darimu".
Aku tau, sulit baginya untuk meniadakan kamu, walau dari celah tersempit di bagian hatinya. Itu yang lebih sulit, karena kamu tersembunyi, rasa untukmu yang paling aman, tidak menguap, dan tidak larut bersama kenangan yang harusnya dibuang.
Dia hanya rindu kamu, pelariannya sedang mengabaikannya. Dia lelah terlalu banyak hati yang harus ia jaga sampai ia sendiri tak peduli akan hatinya. Entah hitam, mungkin hancur, atau terbelah dan tercecer bentuk hatinya, ia pun tak tau, yang ia tau rasanya sesak, begitu katanya.
Bukan takut berpapasan ditengah pelarian menurutnya, kurasa ia malah tak bisa berlari dan malah kehabisan nafas untuk berjalan. Dia kehabisan oksigen, makin diam ditempat dadanya makin terhimpit dan lehernya makin tercekik.
Apa yang harus ia korbankan lagi, perasaannya sudah diabaikannya.
Perasaanmu, perasaan kekasihnya, perasaan temannya yang menyukaimu, perasaan temanmu yang menyukainya, perasaan orang yang ia ketahui menyukaimu.
Ia menjaga semua itu, ia menjaga perasaan orang-orang yang bahkan tak tau betapa menderitanya perasaan miliknya, bahkan mereka tak tau kalau ada dia yang sedang menjaga hati mereka.
Dia tak ingin kamu disalahkan atas perasaannya, dia tak ingin kamu dicemburui, dia tak ingin kamu dilukai kekasihnya, dia tak ingin kekasihnya terluka, dia tak ingin jadi orang yang mudah mengabaikan, dia tak ingin temannya tahu perasaannya padamu, dia tak ingin temannya menjadi sama terluka, dia tak ingin temanmu merasa tak adil jika temanmu tau perasaannya hanya untukmu, dia tak ingin menyakitinya, dia tak ingin orang-orang disekitarmu menganggapmu tidak bijaksana, dia tak ingin kamu terlihat buruk.
Dia tak ingin menyakiti, namun dirinya terlalu tolol hingga membiarkan hatinya yang jadi tumpuan rasa sakit itu.
Aku tau sakitnya lebih dari tertusuk ribuan jarum tepat di ulu hati, namun dia bisa apa, menangis pun tak akan mengubah segalanya walau itu sedikit melegakan.
Dia butuh kamu, setidaknya pinjami saja ia bahu untuk mulai bercerita untuk menggantikan air mata. Kamu dimana, apakah kamu masih ingin memayunginya, atau malah meninggalkannya dibawah derasnya hujan.
Untuk wanita hujan.
Komentar
Posting Komentar