Langsung ke konten utama

Untuk Wanita Hujan

Hujan sore tadi menemaninya pulang, tak ada kamu, tak ada pula dia "kekasihnya".
Aku tau dia sengaja pulang disaat hujan belum sepenuhnya reda, aku tau dia suka berjalan dibawah langit yang basah.
Aku sama sepertinya, sama-sama suka hujan, suka aroma debu yang mengubar saat hujan turun dengan deras secara tiba-tiba.
Tidak dingin menurutnya, yah aku tau karena hatinya lebih dingin dari tubuhnya yang basah itu. Sambil berjalan ia menengadahkan tangannya, untuk menampung air yang jatuh dari semesta, ia suka memandangi air yang mengalir melalui celah-celah jarinya, sama halnya seperti ia suka memandangimu "ketidakmungkinan yang masih ia semogakan".
Hatinya sedang sakit, bukan lidahnya yang bicara, tapi tatap matanya menyiratkan itu. Banyak hal yang harus ia lalui walaupun itu sulit "sesungguhnya ia butuh semangat darimu".
Aku tau, sulit baginya untuk meniadakan kamu,  walau dari celah tersempit di bagian hatinya. Itu yang lebih sulit, karena kamu tersembunyi, rasa untukmu yang paling aman, tidak menguap, dan tidak larut bersama kenangan yang harusnya dibuang.
Dia hanya rindu kamu, pelariannya sedang mengabaikannya. Dia lelah terlalu banyak hati yang harus ia jaga sampai ia sendiri tak peduli akan hatinya. Entah hitam, mungkin hancur, atau terbelah dan tercecer bentuk hatinya, ia pun tak tau, yang ia tau rasanya sesak, begitu katanya.
Bukan takut berpapasan ditengah pelarian menurutnya, kurasa ia malah tak bisa berlari dan malah kehabisan nafas untuk berjalan. Dia kehabisan oksigen, makin diam ditempat dadanya makin terhimpit dan lehernya makin tercekik.
Apa yang harus ia korbankan lagi, perasaannya sudah diabaikannya.
Perasaanmu, perasaan kekasihnya, perasaan temannya yang menyukaimu, perasaan temanmu yang menyukainya, perasaan orang yang ia ketahui menyukaimu.
Ia menjaga semua itu, ia menjaga perasaan orang-orang yang bahkan tak tau betapa menderitanya perasaan miliknya, bahkan mereka tak tau kalau ada dia yang sedang menjaga hati mereka.
Dia tak ingin kamu disalahkan atas perasaannya, dia tak ingin kamu dicemburui, dia tak ingin kamu dilukai kekasihnya, dia tak ingin kekasihnya terluka, dia tak ingin jadi orang yang mudah mengabaikan, dia tak ingin temannya tahu perasaannya padamu, dia tak ingin temannya menjadi sama terluka, dia tak ingin temanmu merasa tak adil jika temanmu tau perasaannya hanya untukmu, dia tak ingin menyakitinya, dia tak ingin orang-orang disekitarmu menganggapmu tidak bijaksana, dia tak ingin kamu terlihat buruk.
Dia tak ingin menyakiti, namun dirinya terlalu tolol hingga membiarkan hatinya yang jadi tumpuan rasa sakit itu.
Aku tau sakitnya lebih dari tertusuk ribuan jarum tepat di ulu hati, namun dia bisa apa, menangis pun tak akan mengubah segalanya walau itu sedikit melegakan.
Dia butuh kamu, setidaknya pinjami saja ia bahu untuk mulai bercerita  untuk menggantikan air mata. Kamu dimana, apakah kamu masih ingin memayunginya, atau malah meninggalkannya dibawah derasnya hujan.




Untuk wanita hujan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketidaksengajaan Yang Diatur Tuhan

Aku tak tau ingin memulai ini dari mana. Banyak yang kurasakan, ingin kusampaikan, hingga jadi membingungkan untuk ku aksarakan. Sayang, sebelum bertemu denganmu aku sudah menjadi seorang pemimpi, sama halnya denganmu berkhayal terasa menyenangkan bagiku. Hanya saja mungkin haluan khayalan kita yang berbeda, kamu yang terlalu fantasy sedangkan aku terlalu fiksi. Aku punya banyak mimpi yang kata orang hanya bisa jadi imajinasi, tapi bagiku semua mimpi itu harus lebih nyata dari sekedar imajinasi. Bahagia, ia memang banyak dari sebabnya adalah ketika aku sedang bermimpi, berkhayal, berandai-andai tentang segala sesuatunya yang terlihat indah serta membahagiakan. Taukah kamu sayang, akhir-akhir ini aku banyak melibatkanmu dalam mimpi itu. Mungkin jika kuceritakan akan terdengar terlalu berlebihan, tapi sungguh bahwa segalanya amat menyenangkan kurasakan. Pernah kubilang bukan, bahwa aku lelah untuk memulai lagi, ku ingatkan sedikit, percakapan itu kita lakukan di pinggiran...

Kala Sore

Kala sore, Jalan itu terasa lengang Walaupun satu dua masih berlalu lalang Dua pasang kaki berdiri di pinggir trotoar Kala sore, Langit mulai terlihat kekuningan Desis daun memecah keheningan Dua bibir masih saling terbungkam Kala sore, Daun gugur diterpa angin Kicau burung meramaikan sepi Dua pasang mata menatap lirih Kala sore, Matahari mulai menghilang Seperti petang akan segera datang Dua pasang insan saling meninggalkan

Hapuslah Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu

Aku jadi ingin melakukan hal yang sama setelah membaca tulisan milik Hamsad Rangkuti yang berjudul "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu," aku begitu terlarut dengan tulisan itu. Dengan perasaan resah kuraba bibirku dengan jemari, seakan masih terasa kecupan terakhir bibirnya dibibirku. Terasa pula tangannya yang mengelus lembut rambutku ketika bibirnya masih melekat mesra dibibirku. Memang benar semua kenangan antara aku dengannya sudah kuhapus walau kadang beberapa dari memorinya muncul kembali sebagai virus yang merusak jaringan di sistem hatiku. Namun masih ada yang tertinggal dengan baik ditempatnya, bekas bibirnya yang belum terhapus masih melekat dibibirku. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya dibibirku dengan bibirmu," seperti yang dituangkan oleh Hamsad Rangkuti dalam tulisannya, aku memperkenankanmu melakukannya untukku. Tak apa lakukanlah, kecup saja bibirku dengan bibirmu, lumatlah agar bekas bibirnya benar-benar hilang dari...

Elektron

Berputar elektron, seperti muatan listrik bergerak lainnya, membuat medan magnet di sekitar mereka. Akulah medan magnet itu. Bahwa medan magnet memengaruhi cara elektron mengatur diri dalam atom dan bagaimana mereka bereaksi satu ssama lain. Seperti aku memengaruhimu, perlahan masuk dalam hidupmu, perlahan mencampuri segala urusmu, hingga yang kau ingat hanya aku, bukan dirinya sebagai milikmu.

Sepertinya Penulis Jatuh Cinta

Selamat malam hujan, aku sedang  mendengarkan suara rintikmu dari balik selimutku. Hujan, rasanya sudah lama sekali aku sibuk dengan rutinitas yang menyita waktu hingga aku tak sempat menyapamu dikala kau berlalu beberapa saat kemarin, bahkan aku mengabaikan sedikit banyak imajinasi yang biasanya menjadi alat menyampaikan perasaanku. Aku lupa cara berkata-kata dan mengatur diksi yang baik pada tulisanku, terlihat berantakan serta tak beraturan pada setiap kata yang kutuliskan. Bagaimana aku menyampaikan bahagiaku ini hujan, aku takut perkataanku salah dan tak terdengar indah. Harusnya jika aku bahagia, para pembacaku juga turut bahagia, aku takut malah menuliskan hal yang begitu melankolis diatas bahagiaku. Ah makin lama makin penuh gurauan saja, aku pun tak mengerti dengan pasti harus mengawali cerita ini dari mana. Hujan, aku bahagia. Bahagiaku karena kutemui sosok yang merasa bahagia karena hadirku. Hujan ada lagi, ternyata masih ada sosok yang merasa bahagia jika bersamaku...