Kita tidak pernah tau seperti apa kita jatuh cinta. Nyatanya cinta tidak semudah mengucap janji untuk selalu bersama "yang memang hanya ucapan", tidak juga sesederhana seperti makan malam yang romantis misalnya "yang hanya perayaan jika kau sedang sadar ",
Namun Tuan, ucapanmu terlalu banyak dan sepertinya kau sering bicara dalam kondisi yang tidak sadar "sengaja dimabukkan".
Aku tau cara mencintai setiap orang berbeda-beda, akupun tak menuntut kau untuk menjadi seperti dia, dia, atau dia. Aku tak memaksa kau untuk itu, itu, dan itu. Aku hanya ingin jadi satu-satunya. Ya hanya aku, aku, dan aku.
Aku lelah terlalu berkata-kata banyak padamu, mengharapkan ini itu yang sudah kutahui tak akan kudapati.
Hanya ingin menghibur diri, meski kadang miris sendiri.
Tuan, aku sedang sedih. Aku tak tau harus berkata apa lagi, dan aku tak tau harus bicara kepada siapa.
Tak ada yang kupercayai selain, kamu. Tapi nyatanya kamu hanya sekedar datang disaat kamu ingin, bukan disetiap saat.
Tuan apa salahku terlalu mempercayaimu?? apa salahku terlalu mencintaimu??
Aku tak mengerti dengan sikapmu itu "sungguh".
Semakin aku mencintaimu, kamu semakin melangit.
Kamu bagaikan langit yang tinggi dan angkuh. Bukan salahmu, jika langit diciptakan terlalu tinggi dan luas, namun tak dapatkah kau berbagi tempat denganku dilangitmu itu, walau hanya sepetak tempat peraduan.
Tuan, sesekali aku hanya sekedar butuh pelukan dibandingkan pertanyaan "kenapa?" darimu itu. Atau bisa juga kecupan ringan didahi untuk menghilangkan gelisah, kalau tidak genggaman tangan yang erat pun sudah cukup kurasa, setidaknya perlakuan hangat yang membuatku merasa aman.
Dibandingkan "kenapa?" aku lebih suka kamu berkata, aku mencintaimu, jangan khawatir aku selalu bersamamu, semua akan baik-baik saja, kamu wanita yang hebat, atau kita lalui ini bersama.
Ahh pahit sekali rasanya mengharapkan hal-hal manis dipagi yang gelap ini.
Tuan, aku lelah, aku lelah memberimu penjelasan yang tak pernah kau pahami.
Aku selalu bilang begini, begitu, mengoceh tanpa spasi, namun nyatanya ucapan itu hanya ikut terbang bersama daun kering yang tertiup angin.
Daun kering itu tak membenci angin karena menghempaskannya, tapi aku sungguh membencimu karena mengabaikanku.
Tuan, bagiku cinta itu memahami bukannya memberikan penjelasan.
Kurasa aku tak tau sedewasa apa usia hatimu, namun kurasa untuk urusan mencintai dan dicintai kita tak pernah sebaya.
Kamu atau aku yang usia hatinya lebih dewasa? aku pun tak tau, yang kutahui kita tak pernah sejalan.
Aku tidak menyesal masih mencintaimu dengan begitu dalam, dengan ketulusan yang aku sendiri tak tau apa bentuknya.
Yang kusesali hanyalah jika aku tetap cinta tapi kamu sembunyi lagi dan lagi, jika aku menunggu tapi kamu menghilang lagi dan lagi, jika aku berharap tapi kamu pergi lagi dan lagi.
Ahh.. aku ini kenapa.
Pagi ini masih terlalu gelap untuk memulai hari dengan perasaan gundah, padahal aku saja belum mengakhiri hari yang kemarin, mataku terlalu tangguh dari pada hatiku yang sudah terlanjur patah ini.
Tapi tetap saja, terlalu pagi kamu ada disini, dikepalaku.
Sedangkan yang kau bawa hanyalah rindu, tanpa pertemuan.
Namun Tuan, ucapanmu terlalu banyak dan sepertinya kau sering bicara dalam kondisi yang tidak sadar "sengaja dimabukkan".
Aku tau cara mencintai setiap orang berbeda-beda, akupun tak menuntut kau untuk menjadi seperti dia, dia, atau dia. Aku tak memaksa kau untuk itu, itu, dan itu. Aku hanya ingin jadi satu-satunya. Ya hanya aku, aku, dan aku.
Aku lelah terlalu berkata-kata banyak padamu, mengharapkan ini itu yang sudah kutahui tak akan kudapati.
Hanya ingin menghibur diri, meski kadang miris sendiri.
Tuan, aku sedang sedih. Aku tak tau harus berkata apa lagi, dan aku tak tau harus bicara kepada siapa.
Tak ada yang kupercayai selain, kamu. Tapi nyatanya kamu hanya sekedar datang disaat kamu ingin, bukan disetiap saat.
Tuan apa salahku terlalu mempercayaimu?? apa salahku terlalu mencintaimu??
Aku tak mengerti dengan sikapmu itu "sungguh".
Semakin aku mencintaimu, kamu semakin melangit.
Kamu bagaikan langit yang tinggi dan angkuh. Bukan salahmu, jika langit diciptakan terlalu tinggi dan luas, namun tak dapatkah kau berbagi tempat denganku dilangitmu itu, walau hanya sepetak tempat peraduan.
Tuan, sesekali aku hanya sekedar butuh pelukan dibandingkan pertanyaan "kenapa?" darimu itu. Atau bisa juga kecupan ringan didahi untuk menghilangkan gelisah, kalau tidak genggaman tangan yang erat pun sudah cukup kurasa, setidaknya perlakuan hangat yang membuatku merasa aman.
Dibandingkan "kenapa?" aku lebih suka kamu berkata, aku mencintaimu, jangan khawatir aku selalu bersamamu, semua akan baik-baik saja, kamu wanita yang hebat, atau kita lalui ini bersama.
Ahh pahit sekali rasanya mengharapkan hal-hal manis dipagi yang gelap ini.
Tuan, aku lelah, aku lelah memberimu penjelasan yang tak pernah kau pahami.
Aku selalu bilang begini, begitu, mengoceh tanpa spasi, namun nyatanya ucapan itu hanya ikut terbang bersama daun kering yang tertiup angin.
Daun kering itu tak membenci angin karena menghempaskannya, tapi aku sungguh membencimu karena mengabaikanku.
Tuan, bagiku cinta itu memahami bukannya memberikan penjelasan.
Kurasa aku tak tau sedewasa apa usia hatimu, namun kurasa untuk urusan mencintai dan dicintai kita tak pernah sebaya.
Kamu atau aku yang usia hatinya lebih dewasa? aku pun tak tau, yang kutahui kita tak pernah sejalan.
Aku tidak menyesal masih mencintaimu dengan begitu dalam, dengan ketulusan yang aku sendiri tak tau apa bentuknya.
Yang kusesali hanyalah jika aku tetap cinta tapi kamu sembunyi lagi dan lagi, jika aku menunggu tapi kamu menghilang lagi dan lagi, jika aku berharap tapi kamu pergi lagi dan lagi.
Ahh.. aku ini kenapa.
Pagi ini masih terlalu gelap untuk memulai hari dengan perasaan gundah, padahal aku saja belum mengakhiri hari yang kemarin, mataku terlalu tangguh dari pada hatiku yang sudah terlanjur patah ini.
Tapi tetap saja, terlalu pagi kamu ada disini, dikepalaku.
Sedangkan yang kau bawa hanyalah rindu, tanpa pertemuan.
Selamat pagi Tuan tak tau diri.
Komentar
Posting Komentar