Langsung ke konten utama

"kepiluan"



Aku butuh lautan untuk menghujankan seluruh tangisku, segalanya begitu tragis untuk ku konsumsi sendiri. Semilir angin meniup dedaunan kemudian ia terbang melalui semburat jingga di senja sore ini. Senja yang pilu_.
Aku harus apa lagi jika sudah tau bahwa sebagai bukan yang pertama aku harus siap untuk tidak di prioritaskan. Bahkan saat rindu ini menekan hati, aku harus tau diri untuk tidak menghubungimu, dan membiarkan waktu dengan leluasa mengawasi kalian sampai aku sesak menunggumu tiap detiknya ditemani pikiran, -pasti kamu sedang bahagia dalam peluknya.
Mengapa menyukaimu semenyesakkan ini, dan aku benci karena tidak ada yang bisa kusalahkan perihal ini, pun hati malah semakin tersayat kala aku terbelenggu diantara sepi.
Masih sadarkah kau akan keberadaanku, aku sedang mengamatimu, dan aku mengerti, aku tak boleh mengganggu waktu kalian. Aku menunggu, bersama keresahan bercampur peluh yang makin menyesakkan.
Apa kamu cemas??
Aku sedang cemas, aku sedang rindu, bahkan percakapan terakhir kita masih terngiang-ngiang dipikiranku. Aku tak ingin melupakannya, aku harus ingat segalanya, setidaknya jika nanti kamu hilang, dan benar-benar hilang, aku masih memiliki kisah itu untuk menuntaskan rindu kepadamu.
Olehmu perasaan ini jadi hilang waras, pun dalam kebingungan aku hanya ingin kamu, ingin kamu yang sedang dalam peluknya. Ini terdengar gila, tapi sekali lagi segalanya tak dapat disalahkan.
Bahkan hingga mata terasa perih dan hati ini merintih lirih, tetap saja kamu yang kucintai tanpa pamrih.
Meskipun mencintaimu adalah urusanku, rasanya tidak adil jika ini kurasakan sepihak. Namun nyaman terlalu membodohiku, nyaman itu jebakan, dan sial aku terjebak! Aku terlanjur terbiasa olehmu, bahkan rasanya sangat rindu meski terhitung jam kita dibatasi temu, dan merindukanmu adalah rindu paling memalukan, karena merindukanmu adalah merindukan milik orang lain, sedangkan aku siapa, hanya wanita yang memelukmu melalui doa disertai andai-andai.
Aku sudah meramal apa yang akan terjadi setelah ini, setelah waktu memisahkan kalian dan membiarkan kita bertemu.
Setelahnya kita akan saling tatap, membiarkanmu menatapku dengan raut wajah yang kuhapal setiap garisnya, aku membiarkanmu memelukku dalam diam, aku hanyut, aku kalut karena rindu dan kepura-puraanku bahwa aku baik-baik saja secara otomatis terobati oleh pelukmu, kemudian kita bercakap-cakap tentang apa saja yang terdengar seru, membiarkan segalanya mengalir begitu saja, tanpa membahas kamu dari mana, tanpa membahas kekhawatiranku, hanya menikmati kebersamaan dan bersikap seolah tidak ada antara yang membatasi kita, seakan-akan kita normal, kamu tidak memikirkan, sedangkan aku pasrah saja dibahagiakan dengan cara yang membingungkan.
Benar, kamu terlalu brengsek. Sedangkan cinta ini terlalu tak tau diri untuk tetap bertahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketidaksengajaan Yang Diatur Tuhan

Aku tak tau ingin memulai ini dari mana. Banyak yang kurasakan, ingin kusampaikan, hingga jadi membingungkan untuk ku aksarakan. Sayang, sebelum bertemu denganmu aku sudah menjadi seorang pemimpi, sama halnya denganmu berkhayal terasa menyenangkan bagiku. Hanya saja mungkin haluan khayalan kita yang berbeda, kamu yang terlalu fantasy sedangkan aku terlalu fiksi. Aku punya banyak mimpi yang kata orang hanya bisa jadi imajinasi, tapi bagiku semua mimpi itu harus lebih nyata dari sekedar imajinasi. Bahagia, ia memang banyak dari sebabnya adalah ketika aku sedang bermimpi, berkhayal, berandai-andai tentang segala sesuatunya yang terlihat indah serta membahagiakan. Taukah kamu sayang, akhir-akhir ini aku banyak melibatkanmu dalam mimpi itu. Mungkin jika kuceritakan akan terdengar terlalu berlebihan, tapi sungguh bahwa segalanya amat menyenangkan kurasakan. Pernah kubilang bukan, bahwa aku lelah untuk memulai lagi, ku ingatkan sedikit, percakapan itu kita lakukan di pinggiran...

Kala Sore

Kala sore, Jalan itu terasa lengang Walaupun satu dua masih berlalu lalang Dua pasang kaki berdiri di pinggir trotoar Kala sore, Langit mulai terlihat kekuningan Desis daun memecah keheningan Dua bibir masih saling terbungkam Kala sore, Daun gugur diterpa angin Kicau burung meramaikan sepi Dua pasang mata menatap lirih Kala sore, Matahari mulai menghilang Seperti petang akan segera datang Dua pasang insan saling meninggalkan

Hapuslah Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu

Aku jadi ingin melakukan hal yang sama setelah membaca tulisan milik Hamsad Rangkuti yang berjudul "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu," aku begitu terlarut dengan tulisan itu. Dengan perasaan resah kuraba bibirku dengan jemari, seakan masih terasa kecupan terakhir bibirnya dibibirku. Terasa pula tangannya yang mengelus lembut rambutku ketika bibirnya masih melekat mesra dibibirku. Memang benar semua kenangan antara aku dengannya sudah kuhapus walau kadang beberapa dari memorinya muncul kembali sebagai virus yang merusak jaringan di sistem hatiku. Namun masih ada yang tertinggal dengan baik ditempatnya, bekas bibirnya yang belum terhapus masih melekat dibibirku. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya dibibirku dengan bibirmu," seperti yang dituangkan oleh Hamsad Rangkuti dalam tulisannya, aku memperkenankanmu melakukannya untukku. Tak apa lakukanlah, kecup saja bibirku dengan bibirmu, lumatlah agar bekas bibirnya benar-benar hilang dari...

Elektron

Berputar elektron, seperti muatan listrik bergerak lainnya, membuat medan magnet di sekitar mereka. Akulah medan magnet itu. Bahwa medan magnet memengaruhi cara elektron mengatur diri dalam atom dan bagaimana mereka bereaksi satu ssama lain. Seperti aku memengaruhimu, perlahan masuk dalam hidupmu, perlahan mencampuri segala urusmu, hingga yang kau ingat hanya aku, bukan dirinya sebagai milikmu.

Sepertinya Penulis Jatuh Cinta

Selamat malam hujan, aku sedang  mendengarkan suara rintikmu dari balik selimutku. Hujan, rasanya sudah lama sekali aku sibuk dengan rutinitas yang menyita waktu hingga aku tak sempat menyapamu dikala kau berlalu beberapa saat kemarin, bahkan aku mengabaikan sedikit banyak imajinasi yang biasanya menjadi alat menyampaikan perasaanku. Aku lupa cara berkata-kata dan mengatur diksi yang baik pada tulisanku, terlihat berantakan serta tak beraturan pada setiap kata yang kutuliskan. Bagaimana aku menyampaikan bahagiaku ini hujan, aku takut perkataanku salah dan tak terdengar indah. Harusnya jika aku bahagia, para pembacaku juga turut bahagia, aku takut malah menuliskan hal yang begitu melankolis diatas bahagiaku. Ah makin lama makin penuh gurauan saja, aku pun tak mengerti dengan pasti harus mengawali cerita ini dari mana. Hujan, aku bahagia. Bahagiaku karena kutemui sosok yang merasa bahagia karena hadirku. Hujan ada lagi, ternyata masih ada sosok yang merasa bahagia jika bersamaku...