Langsung ke konten utama

"kesalahan"

Dihampir pagi ini hujan masih merintik, dari atap yang berlubang air menitik. Mendung dimataku bisa jadi hujan dihatiku.
Perasaan selalu menyusahkan, memang!
Hatiku terlibat terlalu banyak saat ini, pikiran, akal, dan kenyataan namun tak seiring dengannya.
Rasanya ada sesak yang tak dapat kujelaskan tapi semoga kamu mengerti perihal nyeri hatiku ini, nyeri yang indah, nyeri yang kutau pasti kudapati, nyeri yang akan kamu abaikan.
Bagaimana rasanya begitu tidak adil, makin kesini aku makin ingin kamu seutuhnya, sedangkan kenyataannya aku tak tau berapa bagian dari hatimu yang memang milikku.
Rasanya masih samar-samar, ini begitu abu-abu dan terlalu aneh bagiku.
Aku tak tau kita ini apa, tak ada komitmen tapi ada perasaan yang salah.
Aku begitu bodoh sedangkan kamu begitu brengsek dan kita terlibat makin jauh, keterlibatan yang kita tak tau bagaimana akhirnya.
Pikiranku selalu buruk jika membahas soal ini, upayaku untuk tidak peduli pada status kita tidak pernah berhasil, karena selalu aku yang kalah, aku yang terlalu ingin kamu, aku yang terlalu berharap, aku yang terlalu ambisi, sedangkan kamu terlalu tak peduli dengan kata terserah-mu.
Kurang ajar memang!! Selalu saja kamu punya cara untuk membuatku makin cinta, dan ini merepotkan, hingga aku sulit mengatasinya.
Lagi-lagi ini terjadi begitu saja, tanpa rencana A B C, dan kita kebingungan seperti tanda tanya yang tak menemukan jawabannya.
Karena kita adalah spontanitas ketika aku dan kamu berdialetika tentang rasa.
Dan nyatanya bukan kita, aku saja yang terlalu perasa.
Hatiku adalah terdakwa, mencintaimu adalah vonisnya, dan aku terbukti bersalah.
Semuanya menyalahkanku, padahal kamu yang membuatku terlibat, rasanya begitu menyakitkan, aku ditampar cercaan satu per satu oleh mereka yang tau kerahasiaan ini, kata mereka ini terlalu beresiko, mereka melempariku bertubi-tubi oleh makian, memaksaku sadar kalau kita adalah kesalahan.
Mereka tak tau aku terlalu tak berdaya, mengapa aku yang disalahkan, mengapa aku yang dipojokkan, mengapa hanya aku yang disudutkan, padahal katamu jika ini soal rasa tak ada yang dapat disalahkan.
Mencintaimu benar-benar diluar batas logikaku, itu yang kukatakan pada mereka, tapi mereka tetap tak peduli, dan malah menyeretku dilubang hitam rasa bersalah.
Jika mencitaimu begitu mudah lantas mengapa mempertahankannya begitu sulit, aku seperti diambang kematian pada malam penebusan dosa, karena diantara kita, kamu dan dia, katanya aku yang akan dieksekusi.
Sepantas itukah aku menerima ini dan terlalu berdosakah perasaan ini.
Tolong jawab aku??
Aku terlalu tak berdaya untuk menghadapi ini, aku butuh kamu lebih dari sekedar kebersamaan kita, setidaknya tetap disampingku ketika mereka menyalahkanku terus-menerus.
Aku takut, aku takut menghadapi mereka sendirian, aku kelelahan tapi tak ingin berhenti sekarang, namun kamu harus tau bahwa semesta pun mengerti rasanya menanti hingga mati.
Dan aku begitu takut kamu akan pergi saat aku sedang cinta-cintanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketidaksengajaan Yang Diatur Tuhan

Aku tak tau ingin memulai ini dari mana. Banyak yang kurasakan, ingin kusampaikan, hingga jadi membingungkan untuk ku aksarakan. Sayang, sebelum bertemu denganmu aku sudah menjadi seorang pemimpi, sama halnya denganmu berkhayal terasa menyenangkan bagiku. Hanya saja mungkin haluan khayalan kita yang berbeda, kamu yang terlalu fantasy sedangkan aku terlalu fiksi. Aku punya banyak mimpi yang kata orang hanya bisa jadi imajinasi, tapi bagiku semua mimpi itu harus lebih nyata dari sekedar imajinasi. Bahagia, ia memang banyak dari sebabnya adalah ketika aku sedang bermimpi, berkhayal, berandai-andai tentang segala sesuatunya yang terlihat indah serta membahagiakan. Taukah kamu sayang, akhir-akhir ini aku banyak melibatkanmu dalam mimpi itu. Mungkin jika kuceritakan akan terdengar terlalu berlebihan, tapi sungguh bahwa segalanya amat menyenangkan kurasakan. Pernah kubilang bukan, bahwa aku lelah untuk memulai lagi, ku ingatkan sedikit, percakapan itu kita lakukan di pinggiran...

Kala Sore

Kala sore, Jalan itu terasa lengang Walaupun satu dua masih berlalu lalang Dua pasang kaki berdiri di pinggir trotoar Kala sore, Langit mulai terlihat kekuningan Desis daun memecah keheningan Dua bibir masih saling terbungkam Kala sore, Daun gugur diterpa angin Kicau burung meramaikan sepi Dua pasang mata menatap lirih Kala sore, Matahari mulai menghilang Seperti petang akan segera datang Dua pasang insan saling meninggalkan

Hapuslah Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu

Aku jadi ingin melakukan hal yang sama setelah membaca tulisan milik Hamsad Rangkuti yang berjudul "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu," aku begitu terlarut dengan tulisan itu. Dengan perasaan resah kuraba bibirku dengan jemari, seakan masih terasa kecupan terakhir bibirnya dibibirku. Terasa pula tangannya yang mengelus lembut rambutku ketika bibirnya masih melekat mesra dibibirku. Memang benar semua kenangan antara aku dengannya sudah kuhapus walau kadang beberapa dari memorinya muncul kembali sebagai virus yang merusak jaringan di sistem hatiku. Namun masih ada yang tertinggal dengan baik ditempatnya, bekas bibirnya yang belum terhapus masih melekat dibibirku. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya dibibirku dengan bibirmu," seperti yang dituangkan oleh Hamsad Rangkuti dalam tulisannya, aku memperkenankanmu melakukannya untukku. Tak apa lakukanlah, kecup saja bibirku dengan bibirmu, lumatlah agar bekas bibirnya benar-benar hilang dari...

Elektron

Berputar elektron, seperti muatan listrik bergerak lainnya, membuat medan magnet di sekitar mereka. Akulah medan magnet itu. Bahwa medan magnet memengaruhi cara elektron mengatur diri dalam atom dan bagaimana mereka bereaksi satu ssama lain. Seperti aku memengaruhimu, perlahan masuk dalam hidupmu, perlahan mencampuri segala urusmu, hingga yang kau ingat hanya aku, bukan dirinya sebagai milikmu.

Sepertinya Penulis Jatuh Cinta

Selamat malam hujan, aku sedang  mendengarkan suara rintikmu dari balik selimutku. Hujan, rasanya sudah lama sekali aku sibuk dengan rutinitas yang menyita waktu hingga aku tak sempat menyapamu dikala kau berlalu beberapa saat kemarin, bahkan aku mengabaikan sedikit banyak imajinasi yang biasanya menjadi alat menyampaikan perasaanku. Aku lupa cara berkata-kata dan mengatur diksi yang baik pada tulisanku, terlihat berantakan serta tak beraturan pada setiap kata yang kutuliskan. Bagaimana aku menyampaikan bahagiaku ini hujan, aku takut perkataanku salah dan tak terdengar indah. Harusnya jika aku bahagia, para pembacaku juga turut bahagia, aku takut malah menuliskan hal yang begitu melankolis diatas bahagiaku. Ah makin lama makin penuh gurauan saja, aku pun tak mengerti dengan pasti harus mengawali cerita ini dari mana. Hujan, aku bahagia. Bahagiaku karena kutemui sosok yang merasa bahagia karena hadirku. Hujan ada lagi, ternyata masih ada sosok yang merasa bahagia jika bersamaku...