Tentang ketidaktahuan kita yang lebih dari sekedar tidak tau yang membahagiakan ini, sisi lain hatiku merasakan sesak yang mendalam saat realita mulai datang dan menohok hatiku.
Bukan soal ketidakpastian tapi lebih dari itu aku malu kepada kenyataan karena ia mengetahui aku sedang pura-pura tidak tau tentang hal yang jadi permasalahan, aku sedang berusaha untuk tidak peduli tentang milik siapa sebenarnya dia, yang kutau saat bersamaku -dia milikku.
Hujan makin deras dan malam makin larut, menyamarkan isakanku yang tertahan dan malah makin menyesakkan ini, gelap malam menyembunyikan bulir asin yang mengalir lewat pipi ini, dan mataku makin sayu digenanginya.
Amat menyedihkan, ini seperti aku yang terlalu memaksakan. Padahal aku tau, tentang keberlangsungan kita, segalanya hanya soal seberapa mampu aku bertahan, -bertahan diantara kalian -dia dan kekasihnya.
Aku merasa terjebak didalam keadaan yang mengambang, dan aku menyimpan perasaan yang tidak dia rasakan.
Aku tidak bisa menyesali perasaan ini hadir untuknya, segalanya terjadi begitu saja, lewat obrolan gila yang menyenangkan, lewat genggaman yang menguatkan, lewat tatapan membunuh yang menegangkan, lewat pelukan hangat yang menenangkan, lewat kejahatan yang membahagiakan, dan entah mengapa kejahatannya makin membuatku mencintainya.
Aku tau bahwa ketidaktahuan ini bukan yang kita harapkan, tapi kenyataan ini tetap menyesakkan untuk kuterima, meski aku bilang pada mereka aku tak apa-apa, aku cukup tau diri tentang kita, aku baik dan ini bukan masalah besar, tapi aku tetap tidak tau apa yang membuatku bertahan setelah ini -selain dia.
Apa yang akan membuatku baik-baik saja setelah ini, aku hanya sedang menyiapkan diri untuk sanggup akan segala konsekuensinya -apapun itu.
Hahahahaha! Brengsek! Aku hanya ingin tertawa sekencang-kencangnya, bahagia sejadi-jadinya, tapi harus kuterima bahwa tidak ada kisah cinta yang tak mengenal air mata.
Aku hanya sedang bersikeras agar semua ini tak bias, apalagi berujung nahas. Aku tidak ingin kelak hanya dapat menandaskan rindu, hingga kumohon pada Tuhan untuk menjadikan yang fana menjadi nyata -KITA.
Tak boleh ada kata saling mengikhlaskan, karena jika ada yang terluka -biarkan aku saja. Pun jika aku yang tersiksa -akupun mulai membiasakannya. Katamu aku tak boleh payah kan -tidak akan untuk kamu, manusia yang mendewa.
Andaikan bisa waktu bergesekan dengan ego, aku ingin memutarnya dan kembali diawal pertemuan kita, aku ingin memilikinya saat itu juga jika tau hal ini akan terjadi.
Keterlambatan, aku benci hal itu.
Kejelasan, aku juga tidak begitu menyukainya.
Kenyataan, aku amat merutukinya, dasar sialan!
Hampir tengah malam, dan hujan makin murka, aku malah memikirkannya yang hatinya terbelah dua, dan entah aku dapat berapa bagian, yang jelas aku terima saja dengan bodohnya.
Suara hujan membungkam keheningan, aku menunggu dalam diam disela isakan, bertahan tidak memiliki, dan berharap kepekaannya menghampiri.
Bukan soal ketidakpastian tapi lebih dari itu aku malu kepada kenyataan karena ia mengetahui aku sedang pura-pura tidak tau tentang hal yang jadi permasalahan, aku sedang berusaha untuk tidak peduli tentang milik siapa sebenarnya dia, yang kutau saat bersamaku -dia milikku.
Hujan makin deras dan malam makin larut, menyamarkan isakanku yang tertahan dan malah makin menyesakkan ini, gelap malam menyembunyikan bulir asin yang mengalir lewat pipi ini, dan mataku makin sayu digenanginya.
Amat menyedihkan, ini seperti aku yang terlalu memaksakan. Padahal aku tau, tentang keberlangsungan kita, segalanya hanya soal seberapa mampu aku bertahan, -bertahan diantara kalian -dia dan kekasihnya.
Aku merasa terjebak didalam keadaan yang mengambang, dan aku menyimpan perasaan yang tidak dia rasakan.
Aku tidak bisa menyesali perasaan ini hadir untuknya, segalanya terjadi begitu saja, lewat obrolan gila yang menyenangkan, lewat genggaman yang menguatkan, lewat tatapan membunuh yang menegangkan, lewat pelukan hangat yang menenangkan, lewat kejahatan yang membahagiakan, dan entah mengapa kejahatannya makin membuatku mencintainya.
Aku tau bahwa ketidaktahuan ini bukan yang kita harapkan, tapi kenyataan ini tetap menyesakkan untuk kuterima, meski aku bilang pada mereka aku tak apa-apa, aku cukup tau diri tentang kita, aku baik dan ini bukan masalah besar, tapi aku tetap tidak tau apa yang membuatku bertahan setelah ini -selain dia.
Apa yang akan membuatku baik-baik saja setelah ini, aku hanya sedang menyiapkan diri untuk sanggup akan segala konsekuensinya -apapun itu.
Hahahahaha! Brengsek! Aku hanya ingin tertawa sekencang-kencangnya, bahagia sejadi-jadinya, tapi harus kuterima bahwa tidak ada kisah cinta yang tak mengenal air mata.
Aku hanya sedang bersikeras agar semua ini tak bias, apalagi berujung nahas. Aku tidak ingin kelak hanya dapat menandaskan rindu, hingga kumohon pada Tuhan untuk menjadikan yang fana menjadi nyata -KITA.
Tak boleh ada kata saling mengikhlaskan, karena jika ada yang terluka -biarkan aku saja. Pun jika aku yang tersiksa -akupun mulai membiasakannya. Katamu aku tak boleh payah kan -tidak akan untuk kamu, manusia yang mendewa.
Andaikan bisa waktu bergesekan dengan ego, aku ingin memutarnya dan kembali diawal pertemuan kita, aku ingin memilikinya saat itu juga jika tau hal ini akan terjadi.
Keterlambatan, aku benci hal itu.
Kejelasan, aku juga tidak begitu menyukainya.
Kenyataan, aku amat merutukinya, dasar sialan!
Hampir tengah malam, dan hujan makin murka, aku malah memikirkannya yang hatinya terbelah dua, dan entah aku dapat berapa bagian, yang jelas aku terima saja dengan bodohnya.
Suara hujan membungkam keheningan, aku menunggu dalam diam disela isakan, bertahan tidak memiliki, dan berharap kepekaannya menghampiri.
Komentar
Posting Komentar