Aku mulai memahami dan mulai menikmati eloknya menunggu dan indahnya terabaikan. Namun tetap saja rindu hadir secara tiba-tiba, tanpa menyengaja, bahkan sebelum aku sempat berencana untuk merindumu.
Aku sedang diambang bimbang, aku tenggelam dilautan luka saat aku mencoba menyelamimu, kau tau jelas aku tak pandai berenang, tapi kau biarkan aku menyelam hingga tenggelam semakin dalam, mungkin maksudmu ingin aku hilang.
Dalam hidup ini, seberapa kali kehilangan harus kita jalani. Apa juga harus sesering siang yang kehilangan terang, sebab malam datang. Sesungguhnya, kehilangan hanya milik mereka yang pernah memiliki. Lantas bagaimana dengan kita?
Sebenarnya, kehilangan hanyalah tentang kebiasaan. Kebiasaan yang seperti bernafas, sehingga ketika sesuatu itu sudah tak ada, yang akan dirasakan adalah sesak dalam dada. Dan sialnya aku terlalu terbiasa denganmu hingga kini terlalu candu.
Sejatinya, kehilangan adalah jalan pulang paling dekat dengan kenangan. Kenangan yang sering disurati namun menolak untuk ditemui. Dan untuk setiap kenangan mengenai kau, kemana surat-surat itu akan kualamatkan. Kemudian apakah akhir dari kita pun adalah kenangan?
Bagaimana pun meriahnya, setiap pesta pasti usai dan kita harus mengantar semua tamu ke pintu untuk pulang, dan setelahnya kita harus mengemas semua pernak-pernik yang berserakan. Lalu memulai lagi hari yang biasa.
Namun, apakah aku sanggup membiarkanmu pulang -kembali padanya? jawabannya tidak semudah mengemas pernak-pernik pesta yang berserakan. Karena bagiku, mengemas pernak-pernik itu bersamamu lebih membahagiakan dari pada sendirian. Kemudian kita memulai hari dengan biasa, itu yang aku semogakan.
Pernahkah kau disapa sepi? aku sedang mengalaminya, bagaimana denganmu?
Aku sepi diujung penantian, menantimu.
Kadang sepi ini berbuah rindu. Rindu yang bukan perkara jarak, tapi rindu ingin memiliki dan dimiliki -seutuhnya.
Tak ada yang bisa lari dari kesepian, seperti kita yang tak bisa mengelak dari hujan. Aku tertawa namun sekaligus bertanya. Bagaimana kau tetap bisa tertawa sedangkan aku tak ada?
Sedekat itukah kau dengan bahagia, sementara aku kian menjauh dari senang, setiap kali makin mendekat ke kenang. Kau.
Aku sama seperti hujan. Sama-sama terjatuh untuk menciptakan genangan penuh kenangan. Hingga genangan itu terinjak olehmu. Dan kenangan mulai menguap disekitarmu.
Tapi kelihatannya, kau terlalu enggan menginjak genangan itu, ia terlalu kotor bagimu, dan apakah aku pun begitu?
Dimatamu, mungkin aku hanyalah mainan. Mainan yang kau lempar ketika sudah tak lagi menyenangkan untuk dimainkan.
Atau mungkin aku hanya lah abu yang kau biarkan, setelah sebelumnya kita ibaratkan kau adalah api yang membakarku sebagai kayu.
Aku sedang diambang bimbang, aku tenggelam dilautan luka saat aku mencoba menyelamimu, kau tau jelas aku tak pandai berenang, tapi kau biarkan aku menyelam hingga tenggelam semakin dalam, mungkin maksudmu ingin aku hilang.
Dalam hidup ini, seberapa kali kehilangan harus kita jalani. Apa juga harus sesering siang yang kehilangan terang, sebab malam datang. Sesungguhnya, kehilangan hanya milik mereka yang pernah memiliki. Lantas bagaimana dengan kita?
Sebenarnya, kehilangan hanyalah tentang kebiasaan. Kebiasaan yang seperti bernafas, sehingga ketika sesuatu itu sudah tak ada, yang akan dirasakan adalah sesak dalam dada. Dan sialnya aku terlalu terbiasa denganmu hingga kini terlalu candu.
Sejatinya, kehilangan adalah jalan pulang paling dekat dengan kenangan. Kenangan yang sering disurati namun menolak untuk ditemui. Dan untuk setiap kenangan mengenai kau, kemana surat-surat itu akan kualamatkan. Kemudian apakah akhir dari kita pun adalah kenangan?
Bagaimana pun meriahnya, setiap pesta pasti usai dan kita harus mengantar semua tamu ke pintu untuk pulang, dan setelahnya kita harus mengemas semua pernak-pernik yang berserakan. Lalu memulai lagi hari yang biasa.
Namun, apakah aku sanggup membiarkanmu pulang -kembali padanya? jawabannya tidak semudah mengemas pernak-pernik pesta yang berserakan. Karena bagiku, mengemas pernak-pernik itu bersamamu lebih membahagiakan dari pada sendirian. Kemudian kita memulai hari dengan biasa, itu yang aku semogakan.
Pernahkah kau disapa sepi? aku sedang mengalaminya, bagaimana denganmu?
Aku sepi diujung penantian, menantimu.
Kadang sepi ini berbuah rindu. Rindu yang bukan perkara jarak, tapi rindu ingin memiliki dan dimiliki -seutuhnya.
Tak ada yang bisa lari dari kesepian, seperti kita yang tak bisa mengelak dari hujan. Aku tertawa namun sekaligus bertanya. Bagaimana kau tetap bisa tertawa sedangkan aku tak ada?
Sedekat itukah kau dengan bahagia, sementara aku kian menjauh dari senang, setiap kali makin mendekat ke kenang. Kau.
Aku sama seperti hujan. Sama-sama terjatuh untuk menciptakan genangan penuh kenangan. Hingga genangan itu terinjak olehmu. Dan kenangan mulai menguap disekitarmu.
Tapi kelihatannya, kau terlalu enggan menginjak genangan itu, ia terlalu kotor bagimu, dan apakah aku pun begitu?
Dimatamu, mungkin aku hanyalah mainan. Mainan yang kau lempar ketika sudah tak lagi menyenangkan untuk dimainkan.
Atau mungkin aku hanya lah abu yang kau biarkan, setelah sebelumnya kita ibaratkan kau adalah api yang membakarku sebagai kayu.
Komentar
Posting Komentar