Langsung ke konten utama

Genangan Penuh Kenangan

Aku mulai memahami dan mulai menikmati eloknya menunggu dan indahnya terabaikan. Namun tetap saja rindu hadir secara tiba-tiba, tanpa menyengaja, bahkan sebelum aku sempat berencana untuk merindumu.
Aku sedang diambang bimbang, aku tenggelam dilautan luka saat aku mencoba menyelamimu, kau tau jelas aku tak pandai berenang, tapi kau biarkan aku menyelam hingga tenggelam semakin dalam, mungkin maksudmu ingin aku hilang.
Dalam hidup ini, seberapa kali kehilangan harus kita jalani. Apa juga harus sesering siang yang kehilangan terang, sebab malam datang. Sesungguhnya, kehilangan hanya milik mereka yang pernah memiliki. Lantas bagaimana dengan kita?

Sebenarnya, kehilangan hanyalah tentang kebiasaan. Kebiasaan yang seperti bernafas, sehingga ketika sesuatu itu sudah tak ada, yang akan dirasakan adalah sesak dalam dada. Dan sialnya aku terlalu terbiasa denganmu hingga kini terlalu candu.

Sejatinya, kehilangan adalah jalan pulang paling dekat dengan kenangan. Kenangan yang sering disurati namun menolak untuk ditemui. Dan untuk setiap kenangan mengenai kau, kemana surat-surat itu akan kualamatkan. Kemudian apakah akhir dari kita pun adalah kenangan?

Bagaimana pun meriahnya, setiap pesta pasti usai dan kita harus mengantar semua tamu ke pintu untuk pulang, dan setelahnya kita harus mengemas semua pernak-pernik yang berserakan. Lalu memulai lagi hari yang biasa.
Namun, apakah aku sanggup membiarkanmu pulang -kembali padanya? jawabannya tidak semudah mengemas pernak-pernik pesta yang berserakan. Karena bagiku, mengemas pernak-pernik itu bersamamu lebih membahagiakan dari pada sendirian. Kemudian kita memulai hari dengan biasa, itu yang aku semogakan.

Pernahkah kau disapa sepi? aku sedang mengalaminya, bagaimana denganmu?
Aku sepi diujung penantian, menantimu.
Kadang sepi ini berbuah rindu. Rindu yang bukan perkara jarak, tapi rindu ingin memiliki dan dimiliki -seutuhnya.
Tak ada yang bisa lari dari kesepian, seperti kita yang tak bisa mengelak dari hujan. Aku tertawa namun sekaligus bertanya. Bagaimana kau tetap bisa tertawa sedangkan aku tak ada?
Sedekat itukah kau dengan bahagia, sementara aku kian menjauh dari senang, setiap kali makin mendekat ke kenang. Kau.

Aku sama seperti hujan. Sama-sama terjatuh untuk menciptakan genangan penuh kenangan. Hingga genangan itu terinjak olehmu. Dan kenangan mulai menguap disekitarmu.
Tapi kelihatannya, kau terlalu enggan menginjak genangan itu, ia terlalu kotor bagimu, dan apakah aku pun begitu?
Dimatamu, mungkin aku hanyalah mainan. Mainan yang kau lempar ketika sudah tak lagi menyenangkan untuk dimainkan.
Atau mungkin aku hanya lah abu yang kau biarkan, setelah sebelumnya kita ibaratkan kau adalah api yang membakarku sebagai kayu. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketidaksengajaan Yang Diatur Tuhan

Aku tak tau ingin memulai ini dari mana. Banyak yang kurasakan, ingin kusampaikan, hingga jadi membingungkan untuk ku aksarakan. Sayang, sebelum bertemu denganmu aku sudah menjadi seorang pemimpi, sama halnya denganmu berkhayal terasa menyenangkan bagiku. Hanya saja mungkin haluan khayalan kita yang berbeda, kamu yang terlalu fantasy sedangkan aku terlalu fiksi. Aku punya banyak mimpi yang kata orang hanya bisa jadi imajinasi, tapi bagiku semua mimpi itu harus lebih nyata dari sekedar imajinasi. Bahagia, ia memang banyak dari sebabnya adalah ketika aku sedang bermimpi, berkhayal, berandai-andai tentang segala sesuatunya yang terlihat indah serta membahagiakan. Taukah kamu sayang, akhir-akhir ini aku banyak melibatkanmu dalam mimpi itu. Mungkin jika kuceritakan akan terdengar terlalu berlebihan, tapi sungguh bahwa segalanya amat menyenangkan kurasakan. Pernah kubilang bukan, bahwa aku lelah untuk memulai lagi, ku ingatkan sedikit, percakapan itu kita lakukan di pinggiran...

Kala Sore

Kala sore, Jalan itu terasa lengang Walaupun satu dua masih berlalu lalang Dua pasang kaki berdiri di pinggir trotoar Kala sore, Langit mulai terlihat kekuningan Desis daun memecah keheningan Dua bibir masih saling terbungkam Kala sore, Daun gugur diterpa angin Kicau burung meramaikan sepi Dua pasang mata menatap lirih Kala sore, Matahari mulai menghilang Seperti petang akan segera datang Dua pasang insan saling meninggalkan

Hapuslah Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu

Aku jadi ingin melakukan hal yang sama setelah membaca tulisan milik Hamsad Rangkuti yang berjudul "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu," aku begitu terlarut dengan tulisan itu. Dengan perasaan resah kuraba bibirku dengan jemari, seakan masih terasa kecupan terakhir bibirnya dibibirku. Terasa pula tangannya yang mengelus lembut rambutku ketika bibirnya masih melekat mesra dibibirku. Memang benar semua kenangan antara aku dengannya sudah kuhapus walau kadang beberapa dari memorinya muncul kembali sebagai virus yang merusak jaringan di sistem hatiku. Namun masih ada yang tertinggal dengan baik ditempatnya, bekas bibirnya yang belum terhapus masih melekat dibibirku. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya dibibirku dengan bibirmu," seperti yang dituangkan oleh Hamsad Rangkuti dalam tulisannya, aku memperkenankanmu melakukannya untukku. Tak apa lakukanlah, kecup saja bibirku dengan bibirmu, lumatlah agar bekas bibirnya benar-benar hilang dari...

Elektron

Berputar elektron, seperti muatan listrik bergerak lainnya, membuat medan magnet di sekitar mereka. Akulah medan magnet itu. Bahwa medan magnet memengaruhi cara elektron mengatur diri dalam atom dan bagaimana mereka bereaksi satu ssama lain. Seperti aku memengaruhimu, perlahan masuk dalam hidupmu, perlahan mencampuri segala urusmu, hingga yang kau ingat hanya aku, bukan dirinya sebagai milikmu.

Sepertinya Penulis Jatuh Cinta

Selamat malam hujan, aku sedang  mendengarkan suara rintikmu dari balik selimutku. Hujan, rasanya sudah lama sekali aku sibuk dengan rutinitas yang menyita waktu hingga aku tak sempat menyapamu dikala kau berlalu beberapa saat kemarin, bahkan aku mengabaikan sedikit banyak imajinasi yang biasanya menjadi alat menyampaikan perasaanku. Aku lupa cara berkata-kata dan mengatur diksi yang baik pada tulisanku, terlihat berantakan serta tak beraturan pada setiap kata yang kutuliskan. Bagaimana aku menyampaikan bahagiaku ini hujan, aku takut perkataanku salah dan tak terdengar indah. Harusnya jika aku bahagia, para pembacaku juga turut bahagia, aku takut malah menuliskan hal yang begitu melankolis diatas bahagiaku. Ah makin lama makin penuh gurauan saja, aku pun tak mengerti dengan pasti harus mengawali cerita ini dari mana. Hujan, aku bahagia. Bahagiaku karena kutemui sosok yang merasa bahagia karena hadirku. Hujan ada lagi, ternyata masih ada sosok yang merasa bahagia jika bersamaku...