Masih pagi, lagi-lagi terlalu pagi hanya untuk memikirkanmu.
Pagi ini aku benar-benar membeku, menunggumu semalaman dalam hiruk pikuk yang terasa begitu sepi, hingga aku terlelap dan berakhir seperti ini, terbangun dalam kehampaan.
Aku merasa begitu sedih, karena kejauhan jadi nampak teramat nyata.
Apakah kamu merasakannya, kesedihanku itu Tuan.
Dalam ingar-bingar yang sudah berakhir, aku masih berharap kita dapat bergandeng tangan, dan aku masih menjadi tempatmu untuk pulang.
Tapi tidak seperti itu, mengapa kamu memilih untuk berhenti berjalan, jika bagimu rasa itu tak mungkin tersimpan lagi, lalu bagaimana dengan perasaanku yang terus mengalir tanpa tahu caranya berhenti. Katamu tak ada jalan untuk kembali?? Mengapa kamu terlalu mudah menyerah seperti itu, haruskah selalu aku yang mengupayakan kita?
Ini terlalu menyakitkan Tuan, aku benci kita seperti ini, berada dalam satuan jarak terpanjang, pada kedekatan yang tak saling menyapa.
Aku tak punya kekuatan dibalik ketiadaan ini.
Aku harus apa? bagaimana dengan tatap matamu yang menghentikan dunia? lalu bagaimana dengan genggamanmu yang mendebarkan? kemudian heningmu yang selalu menjelma menjadi rasa? Ingatanku merekam semuanya dengan sempurna.
Apakah merelakanmu aku pun harus merelakan diriku?
Berhenti menjadi pecandu hujan dan pecinta senja, karena sudah tidak ada apa-apa disana selain romantisme berlebih tentang cinta yang tak bisa lagi kuraih bersamamu.
Aku diam bukan berarti tak mengupayakan, kupikir selalu ada jalan terbaik selain pertengkaran, menghindar dari segala debat misalnya.
Dan mungkin pula ada jalan yang lebih bijak selain perpisahan, melupakan kekesalan dan mengikhlaskan kesakitan misalnya, tanpa harus saling merelakan.
Hay Tuan, selamat pagi.
Aku rindu rutinitas yang kulakukan untukmu.
Datanglah, aku bersumpah aku tenang.
Pagi ini aku benar-benar membeku, menunggumu semalaman dalam hiruk pikuk yang terasa begitu sepi, hingga aku terlelap dan berakhir seperti ini, terbangun dalam kehampaan.
Aku merasa begitu sedih, karena kejauhan jadi nampak teramat nyata.
Apakah kamu merasakannya, kesedihanku itu Tuan.
Dalam ingar-bingar yang sudah berakhir, aku masih berharap kita dapat bergandeng tangan, dan aku masih menjadi tempatmu untuk pulang.
Tapi tidak seperti itu, mengapa kamu memilih untuk berhenti berjalan, jika bagimu rasa itu tak mungkin tersimpan lagi, lalu bagaimana dengan perasaanku yang terus mengalir tanpa tahu caranya berhenti. Katamu tak ada jalan untuk kembali?? Mengapa kamu terlalu mudah menyerah seperti itu, haruskah selalu aku yang mengupayakan kita?
Ini terlalu menyakitkan Tuan, aku benci kita seperti ini, berada dalam satuan jarak terpanjang, pada kedekatan yang tak saling menyapa.
Aku tak punya kekuatan dibalik ketiadaan ini.
Aku harus apa? bagaimana dengan tatap matamu yang menghentikan dunia? lalu bagaimana dengan genggamanmu yang mendebarkan? kemudian heningmu yang selalu menjelma menjadi rasa? Ingatanku merekam semuanya dengan sempurna.
Apakah merelakanmu aku pun harus merelakan diriku?
Berhenti menjadi pecandu hujan dan pecinta senja, karena sudah tidak ada apa-apa disana selain romantisme berlebih tentang cinta yang tak bisa lagi kuraih bersamamu.
Aku diam bukan berarti tak mengupayakan, kupikir selalu ada jalan terbaik selain pertengkaran, menghindar dari segala debat misalnya.
Dan mungkin pula ada jalan yang lebih bijak selain perpisahan, melupakan kekesalan dan mengikhlaskan kesakitan misalnya, tanpa harus saling merelakan.
Hay Tuan, selamat pagi.
Aku rindu rutinitas yang kulakukan untukmu.
Datanglah, aku bersumpah aku tenang.
Komentar
Posting Komentar