Langsung ke konten utama

menanti waktu

pada malam aku bertanya
bagaimana kabarmu?
sedangku disini tidak begitu baik,
entah sudah yang keberapa, kulalui malam-malam panjang tanpamu.
apa lagi tau, saling sapa pun tidak.
bisa kita sejauh ini, bagai langit yang berjarak dengan bumi.
entah apa yang kau lakukan, aku disini dengan rutinitasku,
dengan segala kesibukan yang kuciptakan sendiri
kuselipkan harapan tentang dirimu yang akan kembali.
aku dengan segala kebodohan yang tersisa, menghabiskan waktu menanti pagi menunggumu.
tak berharap kamu tau hanya berharap kamu datang
aku biarlah berbicara pàda malam, menceritakan dirimu yang kunanti meski sengaja pergi,
aku seterusnya bercakap pada petang, mengajaknya menemaniku melewati malam untuk mengenangmu,
kuceritakan pada sunyi tentang tawa renyahmu yang kudengar pertama kalinya, kukatakan padanya tentang dirimu yang dapat tersenyum tulus, kugambarkan tentang mata teduhmu saat memandangku, juga tentang dekap hangatmu yang menenangkan.
malam tak menjawab, dan sunyi tetap disana.
Hingga kemudian aku terus bercerita tiada henti, kuawali dengan senyum yang mengembang karena segala kenangan itu, kemudian tak berhenti disitu, cerita masih panjang dan pagi masih terlalu jauh.
Sampai pada puncaknya aku merasa sesak tak terkira, rasanya bgitu sulit mengucap hanya rasa ini tak ingin berhenti.
Mulutku berbicara, dan pikiranku sadar, yang kukatakan seperti ilusi, bahkan debar jantungku masih teringat jelas saat aku memikirkan semua waktu denganmu.
Hanya saja kenyataan ini begitu menohokku, yang kunanti hanya semu, angan yang hanya kenangan, perasaan yang hanya sepihak, harapan yang tak pernah terdengar.
Hilang, tentang kenangan pun kurasa akan menguap.
Meski lekat dipikiranku, akan memudar dalam dirimu.
Seperti itu semua berakhir.
Meskipun kita pernah sedekat darah dan nadi, kini aku tertinggal jauh dibelakangmu, bagai sosok yang tak pernah ada dalam hidupmu.
Aku dengan segala ketidakmampuanku untuk merelakanmu, namun kamu sudah begitu baik tanpa kehadiranku.
Salahku, yang dari awal menganggap segalanya tepat, namun nyatanya aku yang terlalu memaksakanmu.
Harusnya aku sadar bahwa aku tak seberarti itu untukmu, namun bagaimana mungkin aku dapat melepaskan diri dari dekapmu kala itu.
Rasanya terlalu menyenangkan memiliki teman bicara, atau seseorang sepertimu yang dapat kutemui saat segalanya terasa buruk.
Hanya saja semua berlalu, jika aku yang salah mengerti, mengapa belasan bulan kita lalui dengan tenang, harusnya tak selama itu kau menipuku.
Bukankah itu terllalu kejam untukku, untuk gadis yang mencintaimu tanpa keberatan dengan segala sisi lainmu, aku dngan segala usahaku untuk jadi tak membosankan dimatamu, aku dengan segala upayaku selalu mencoba untuk mengerti dirimu, melalui segalanya sesuai caramu.
Dan kamu tetap begitu, tak pernah melihatku dengan cara yang berbeda, karena sekarang baru aku tau.
Seberapa keras aku berusaha, aku memang bukan siapa-siapa bagimu.

Aku biarlah disini, bicara pada malam, hingga pagi merenggut waktuku untuk menantimu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketidaksengajaan Yang Diatur Tuhan

Aku tak tau ingin memulai ini dari mana. Banyak yang kurasakan, ingin kusampaikan, hingga jadi membingungkan untuk ku aksarakan. Sayang, sebelum bertemu denganmu aku sudah menjadi seorang pemimpi, sama halnya denganmu berkhayal terasa menyenangkan bagiku. Hanya saja mungkin haluan khayalan kita yang berbeda, kamu yang terlalu fantasy sedangkan aku terlalu fiksi. Aku punya banyak mimpi yang kata orang hanya bisa jadi imajinasi, tapi bagiku semua mimpi itu harus lebih nyata dari sekedar imajinasi. Bahagia, ia memang banyak dari sebabnya adalah ketika aku sedang bermimpi, berkhayal, berandai-andai tentang segala sesuatunya yang terlihat indah serta membahagiakan. Taukah kamu sayang, akhir-akhir ini aku banyak melibatkanmu dalam mimpi itu. Mungkin jika kuceritakan akan terdengar terlalu berlebihan, tapi sungguh bahwa segalanya amat menyenangkan kurasakan. Pernah kubilang bukan, bahwa aku lelah untuk memulai lagi, ku ingatkan sedikit, percakapan itu kita lakukan di pinggiran...

Kala Sore

Kala sore, Jalan itu terasa lengang Walaupun satu dua masih berlalu lalang Dua pasang kaki berdiri di pinggir trotoar Kala sore, Langit mulai terlihat kekuningan Desis daun memecah keheningan Dua bibir masih saling terbungkam Kala sore, Daun gugur diterpa angin Kicau burung meramaikan sepi Dua pasang mata menatap lirih Kala sore, Matahari mulai menghilang Seperti petang akan segera datang Dua pasang insan saling meninggalkan

Hapuslah Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu

Aku jadi ingin melakukan hal yang sama setelah membaca tulisan milik Hamsad Rangkuti yang berjudul "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu," aku begitu terlarut dengan tulisan itu. Dengan perasaan resah kuraba bibirku dengan jemari, seakan masih terasa kecupan terakhir bibirnya dibibirku. Terasa pula tangannya yang mengelus lembut rambutku ketika bibirnya masih melekat mesra dibibirku. Memang benar semua kenangan antara aku dengannya sudah kuhapus walau kadang beberapa dari memorinya muncul kembali sebagai virus yang merusak jaringan di sistem hatiku. Namun masih ada yang tertinggal dengan baik ditempatnya, bekas bibirnya yang belum terhapus masih melekat dibibirku. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya dibibirku dengan bibirmu," seperti yang dituangkan oleh Hamsad Rangkuti dalam tulisannya, aku memperkenankanmu melakukannya untukku. Tak apa lakukanlah, kecup saja bibirku dengan bibirmu, lumatlah agar bekas bibirnya benar-benar hilang dari...

Elektron

Berputar elektron, seperti muatan listrik bergerak lainnya, membuat medan magnet di sekitar mereka. Akulah medan magnet itu. Bahwa medan magnet memengaruhi cara elektron mengatur diri dalam atom dan bagaimana mereka bereaksi satu ssama lain. Seperti aku memengaruhimu, perlahan masuk dalam hidupmu, perlahan mencampuri segala urusmu, hingga yang kau ingat hanya aku, bukan dirinya sebagai milikmu.

Sepertinya Penulis Jatuh Cinta

Selamat malam hujan, aku sedang  mendengarkan suara rintikmu dari balik selimutku. Hujan, rasanya sudah lama sekali aku sibuk dengan rutinitas yang menyita waktu hingga aku tak sempat menyapamu dikala kau berlalu beberapa saat kemarin, bahkan aku mengabaikan sedikit banyak imajinasi yang biasanya menjadi alat menyampaikan perasaanku. Aku lupa cara berkata-kata dan mengatur diksi yang baik pada tulisanku, terlihat berantakan serta tak beraturan pada setiap kata yang kutuliskan. Bagaimana aku menyampaikan bahagiaku ini hujan, aku takut perkataanku salah dan tak terdengar indah. Harusnya jika aku bahagia, para pembacaku juga turut bahagia, aku takut malah menuliskan hal yang begitu melankolis diatas bahagiaku. Ah makin lama makin penuh gurauan saja, aku pun tak mengerti dengan pasti harus mengawali cerita ini dari mana. Hujan, aku bahagia. Bahagiaku karena kutemui sosok yang merasa bahagia karena hadirku. Hujan ada lagi, ternyata masih ada sosok yang merasa bahagia jika bersamaku...