pada malam aku bertanya
bagaimana kabarmu?
sedangku disini tidak begitu baik,
entah sudah yang keberapa, kulalui malam-malam panjang tanpamu.
apa lagi tau, saling sapa pun tidak.
bisa kita sejauh ini, bagai langit yang berjarak dengan bumi.
entah apa yang kau lakukan, aku disini dengan rutinitasku,
dengan segala kesibukan yang kuciptakan sendiri
kuselipkan harapan tentang dirimu yang akan kembali.
aku dengan segala kebodohan yang tersisa, menghabiskan waktu menanti pagi menunggumu.
tak berharap kamu tau hanya berharap kamu datang
aku biarlah berbicara pàda malam, menceritakan dirimu yang kunanti meski sengaja pergi,
aku seterusnya bercakap pada petang, mengajaknya menemaniku melewati malam untuk mengenangmu,
kuceritakan pada sunyi tentang tawa renyahmu yang kudengar pertama kalinya, kukatakan padanya tentang dirimu yang dapat tersenyum tulus, kugambarkan tentang mata teduhmu saat memandangku, juga tentang dekap hangatmu yang menenangkan.
malam tak menjawab, dan sunyi tetap disana.
Hingga kemudian aku terus bercerita tiada henti, kuawali dengan senyum yang mengembang karena segala kenangan itu, kemudian tak berhenti disitu, cerita masih panjang dan pagi masih terlalu jauh.
Sampai pada puncaknya aku merasa sesak tak terkira, rasanya bgitu sulit mengucap hanya rasa ini tak ingin berhenti.
Mulutku berbicara, dan pikiranku sadar, yang kukatakan seperti ilusi, bahkan debar jantungku masih teringat jelas saat aku memikirkan semua waktu denganmu.
Hanya saja kenyataan ini begitu menohokku, yang kunanti hanya semu, angan yang hanya kenangan, perasaan yang hanya sepihak, harapan yang tak pernah terdengar.
Hilang, tentang kenangan pun kurasa akan menguap.
Meski lekat dipikiranku, akan memudar dalam dirimu.
Seperti itu semua berakhir.
Meskipun kita pernah sedekat darah dan nadi, kini aku tertinggal jauh dibelakangmu, bagai sosok yang tak pernah ada dalam hidupmu.
Aku dengan segala ketidakmampuanku untuk merelakanmu, namun kamu sudah begitu baik tanpa kehadiranku.
Salahku, yang dari awal menganggap segalanya tepat, namun nyatanya aku yang terlalu memaksakanmu.
Harusnya aku sadar bahwa aku tak seberarti itu untukmu, namun bagaimana mungkin aku dapat melepaskan diri dari dekapmu kala itu.
Rasanya terlalu menyenangkan memiliki teman bicara, atau seseorang sepertimu yang dapat kutemui saat segalanya terasa buruk.
Hanya saja semua berlalu, jika aku yang salah mengerti, mengapa belasan bulan kita lalui dengan tenang, harusnya tak selama itu kau menipuku.
Bukankah itu terllalu kejam untukku, untuk gadis yang mencintaimu tanpa keberatan dengan segala sisi lainmu, aku dngan segala usahaku untuk jadi tak membosankan dimatamu, aku dengan segala upayaku selalu mencoba untuk mengerti dirimu, melalui segalanya sesuai caramu.
Dan kamu tetap begitu, tak pernah melihatku dengan cara yang berbeda, karena sekarang baru aku tau.
Seberapa keras aku berusaha, aku memang bukan siapa-siapa bagimu.
Aku biarlah disini, bicara pada malam, hingga pagi merenggut waktuku untuk menantimu.
bagaimana kabarmu?
sedangku disini tidak begitu baik,
entah sudah yang keberapa, kulalui malam-malam panjang tanpamu.
apa lagi tau, saling sapa pun tidak.
bisa kita sejauh ini, bagai langit yang berjarak dengan bumi.
entah apa yang kau lakukan, aku disini dengan rutinitasku,
dengan segala kesibukan yang kuciptakan sendiri
kuselipkan harapan tentang dirimu yang akan kembali.
aku dengan segala kebodohan yang tersisa, menghabiskan waktu menanti pagi menunggumu.
tak berharap kamu tau hanya berharap kamu datang
aku biarlah berbicara pàda malam, menceritakan dirimu yang kunanti meski sengaja pergi,
aku seterusnya bercakap pada petang, mengajaknya menemaniku melewati malam untuk mengenangmu,
kuceritakan pada sunyi tentang tawa renyahmu yang kudengar pertama kalinya, kukatakan padanya tentang dirimu yang dapat tersenyum tulus, kugambarkan tentang mata teduhmu saat memandangku, juga tentang dekap hangatmu yang menenangkan.
malam tak menjawab, dan sunyi tetap disana.
Hingga kemudian aku terus bercerita tiada henti, kuawali dengan senyum yang mengembang karena segala kenangan itu, kemudian tak berhenti disitu, cerita masih panjang dan pagi masih terlalu jauh.
Sampai pada puncaknya aku merasa sesak tak terkira, rasanya bgitu sulit mengucap hanya rasa ini tak ingin berhenti.
Mulutku berbicara, dan pikiranku sadar, yang kukatakan seperti ilusi, bahkan debar jantungku masih teringat jelas saat aku memikirkan semua waktu denganmu.
Hanya saja kenyataan ini begitu menohokku, yang kunanti hanya semu, angan yang hanya kenangan, perasaan yang hanya sepihak, harapan yang tak pernah terdengar.
Hilang, tentang kenangan pun kurasa akan menguap.
Meski lekat dipikiranku, akan memudar dalam dirimu.
Seperti itu semua berakhir.
Meskipun kita pernah sedekat darah dan nadi, kini aku tertinggal jauh dibelakangmu, bagai sosok yang tak pernah ada dalam hidupmu.
Aku dengan segala ketidakmampuanku untuk merelakanmu, namun kamu sudah begitu baik tanpa kehadiranku.
Salahku, yang dari awal menganggap segalanya tepat, namun nyatanya aku yang terlalu memaksakanmu.
Harusnya aku sadar bahwa aku tak seberarti itu untukmu, namun bagaimana mungkin aku dapat melepaskan diri dari dekapmu kala itu.
Rasanya terlalu menyenangkan memiliki teman bicara, atau seseorang sepertimu yang dapat kutemui saat segalanya terasa buruk.
Hanya saja semua berlalu, jika aku yang salah mengerti, mengapa belasan bulan kita lalui dengan tenang, harusnya tak selama itu kau menipuku.
Bukankah itu terllalu kejam untukku, untuk gadis yang mencintaimu tanpa keberatan dengan segala sisi lainmu, aku dngan segala usahaku untuk jadi tak membosankan dimatamu, aku dengan segala upayaku selalu mencoba untuk mengerti dirimu, melalui segalanya sesuai caramu.
Dan kamu tetap begitu, tak pernah melihatku dengan cara yang berbeda, karena sekarang baru aku tau.
Seberapa keras aku berusaha, aku memang bukan siapa-siapa bagimu.
Aku biarlah disini, bicara pada malam, hingga pagi merenggut waktuku untuk menantimu.
Komentar
Posting Komentar