Langsung ke konten utama

kembalilah

Sejak hari itu, aku menambah kegiatan favoritku dipagi hari. Selain menyesap kopi, aku menunggumu terbangun, dan kembali pada sadarmu, lalu menyapaku dengan ucap selamat pagi.
Apa kabar kamu, kekasih hatiku? Izinkan aku menyapamu berulang-ulang, karena diri ini masih tak tau diri untuk tak merelakanmu. Seberapa keras kamu ingin berlalu, sebegitu pula rupaku ingin menggenggammu.

Aku tau, segala upaya yang ku lakukan mungkin belum cukup bagimu untuk menghapus segala kesalahanku dimasa itu. Tapi ketahuilah, hari-hari yang kulewati tanpamu adalah neraka terpanjang yang pernah kulalui.

Satu hari berlalu, kubiarkan malam menenggelamkanku berharap kenyataan ini berbaur bersama dengan mimpi. Hari kedua pun kulewati dengan harapan yang sama. Berlalu kehari selanjutnya hingga waktu makin menyiksaku bahwa segala harapan itu tak pernah menjadi nyata,
Nyatanya kamu tetap berlalu, memunggungiku, berjalan menjauh, makin tak tergapai, hingga hampir memudar.

Pagi ini aku memikirkanmu lebih dari biasanya, entah mengapa rasanya sia-sia. Aku pikir melalui hari tanpamu dapat kulakukan dengan mudah. Nyatanya segala kenangan yang pernah kulewati menyerbuku dikala aku sendiri. Rasanya amat menyesakkan, mengingat segala hal itu hanya akan menjadi kenangan.

Harapan dan impian, bahwa kisah kita akan berumur panjang rasanya takkan tercapai.
Dalam hatiku, aku masih berharap bahwa kelak, kamu yang akan kulihat saat mata ini terbuka dan terpejam. Dalam hatiku, aku masih berharap setiap hari ada masakanmu yang kumakan diawal dan di akhir hari. Dalam hatiku, aku masih berharap kita dapat berjalan menyusuri likuan panjang sambil bergenggam tangan. Dalam hatiku, kamu masih yang kuharapkan untuk memutih dan menua bersamaku.

Tidak seperti ini, kita berjalan kearah yang berlawanan, aku mencarimu, menyusuri jejakmu yang kau hapus, hampir kita bertemu, tapi kamu melewati jalan lainnya, hingga kita bersisihan.
Aku berteriak, aku memanggilmu berharap kamu melihat kearahku, tapi kamu tetap berlalu.
Aku berhenti, aku diujung jalan ini, jalan yang tadinya kau lalui.
Aku akan tetap disini, menanti kau menyadari bahwa ada bahagia yang tertinggal.
Aku tak ingin  kita jadi terasing karena sebelum ini kita pernah bersanding.

Mengapa kita harus tak saling menyapa bahkan kita pernah saling mendoa.
Selamat pagi Nona,maaf jika  aku menjadi egois yang tak tahu diri. Hanya saja perasaanku berkata bahwa kita adalah sepasang takdir, hingga aku menolak pasrah bahwa kita sepasang yang salah.

Aku dan kamu adalah benar, maka kamu dan dia harusnya tak boleh ada. 
Hari ini aku berikrar, dengan segala keyakinan, bahwa jika kamu tetap dengannya, mungkin besok atau jika sempat, orang itu akan lenyap. Entah kemana akan kupikirkan baiknya, yang tetap kamu denganku, bukan dengannya.

Lebih dari yang kau tau Nona, upayaku untuk mencintaimu lebih besar dari pada upayamu melepaskanku.
Dariku, pria yang menantimu tak kenal waktu.


inspired by: m awal faisal

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketidaksengajaan Yang Diatur Tuhan

Aku tak tau ingin memulai ini dari mana. Banyak yang kurasakan, ingin kusampaikan, hingga jadi membingungkan untuk ku aksarakan. Sayang, sebelum bertemu denganmu aku sudah menjadi seorang pemimpi, sama halnya denganmu berkhayal terasa menyenangkan bagiku. Hanya saja mungkin haluan khayalan kita yang berbeda, kamu yang terlalu fantasy sedangkan aku terlalu fiksi. Aku punya banyak mimpi yang kata orang hanya bisa jadi imajinasi, tapi bagiku semua mimpi itu harus lebih nyata dari sekedar imajinasi. Bahagia, ia memang banyak dari sebabnya adalah ketika aku sedang bermimpi, berkhayal, berandai-andai tentang segala sesuatunya yang terlihat indah serta membahagiakan. Taukah kamu sayang, akhir-akhir ini aku banyak melibatkanmu dalam mimpi itu. Mungkin jika kuceritakan akan terdengar terlalu berlebihan, tapi sungguh bahwa segalanya amat menyenangkan kurasakan. Pernah kubilang bukan, bahwa aku lelah untuk memulai lagi, ku ingatkan sedikit, percakapan itu kita lakukan di pinggiran...

Kala Sore

Kala sore, Jalan itu terasa lengang Walaupun satu dua masih berlalu lalang Dua pasang kaki berdiri di pinggir trotoar Kala sore, Langit mulai terlihat kekuningan Desis daun memecah keheningan Dua bibir masih saling terbungkam Kala sore, Daun gugur diterpa angin Kicau burung meramaikan sepi Dua pasang mata menatap lirih Kala sore, Matahari mulai menghilang Seperti petang akan segera datang Dua pasang insan saling meninggalkan

Hapuslah Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu

Aku jadi ingin melakukan hal yang sama setelah membaca tulisan milik Hamsad Rangkuti yang berjudul "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu," aku begitu terlarut dengan tulisan itu. Dengan perasaan resah kuraba bibirku dengan jemari, seakan masih terasa kecupan terakhir bibirnya dibibirku. Terasa pula tangannya yang mengelus lembut rambutku ketika bibirnya masih melekat mesra dibibirku. Memang benar semua kenangan antara aku dengannya sudah kuhapus walau kadang beberapa dari memorinya muncul kembali sebagai virus yang merusak jaringan di sistem hatiku. Namun masih ada yang tertinggal dengan baik ditempatnya, bekas bibirnya yang belum terhapus masih melekat dibibirku. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya dibibirku dengan bibirmu," seperti yang dituangkan oleh Hamsad Rangkuti dalam tulisannya, aku memperkenankanmu melakukannya untukku. Tak apa lakukanlah, kecup saja bibirku dengan bibirmu, lumatlah agar bekas bibirnya benar-benar hilang dari...

Elektron

Berputar elektron, seperti muatan listrik bergerak lainnya, membuat medan magnet di sekitar mereka. Akulah medan magnet itu. Bahwa medan magnet memengaruhi cara elektron mengatur diri dalam atom dan bagaimana mereka bereaksi satu ssama lain. Seperti aku memengaruhimu, perlahan masuk dalam hidupmu, perlahan mencampuri segala urusmu, hingga yang kau ingat hanya aku, bukan dirinya sebagai milikmu.

Sepertinya Penulis Jatuh Cinta

Selamat malam hujan, aku sedang  mendengarkan suara rintikmu dari balik selimutku. Hujan, rasanya sudah lama sekali aku sibuk dengan rutinitas yang menyita waktu hingga aku tak sempat menyapamu dikala kau berlalu beberapa saat kemarin, bahkan aku mengabaikan sedikit banyak imajinasi yang biasanya menjadi alat menyampaikan perasaanku. Aku lupa cara berkata-kata dan mengatur diksi yang baik pada tulisanku, terlihat berantakan serta tak beraturan pada setiap kata yang kutuliskan. Bagaimana aku menyampaikan bahagiaku ini hujan, aku takut perkataanku salah dan tak terdengar indah. Harusnya jika aku bahagia, para pembacaku juga turut bahagia, aku takut malah menuliskan hal yang begitu melankolis diatas bahagiaku. Ah makin lama makin penuh gurauan saja, aku pun tak mengerti dengan pasti harus mengawali cerita ini dari mana. Hujan, aku bahagia. Bahagiaku karena kutemui sosok yang merasa bahagia karena hadirku. Hujan ada lagi, ternyata masih ada sosok yang merasa bahagia jika bersamaku...