Pagi ini hujan
membangunkanku, suara gemerciknya membuatku tergugah, rupanya resah
ini masih ada.
Semalam aku beranjak tidur lebih cepat, berharap pada malam panjang yang sengaja kulewatkan agar memberikan kabar baik kepada pagi, namun kabar itu tak ada -segalanya tetap senyap.
Semalam aku beranjak tidur lebih cepat, berharap pada malam panjang yang sengaja kulewatkan agar memberikan kabar baik kepada pagi, namun kabar itu tak ada -segalanya tetap senyap.
Kemarin aku
memandangi langit sore yang indah, mega bertebaran bercampur dengan
birunya langit, disisi lainnya langit agak berwarna keunguan pertanda
malam akan menjumpai, terdapat pula pelangi yang hampir hilang
-padahal tak habis hujan. Senja yang sendu, gumamku. Aku berbicara
pada langit, berharap kamu akan mendengarnya. Entah aku hanya
berpikir kamu pun sedang memandangi langit, sama sepertiku.
Teringat beberapa kali percakapan kita mengenai langit yang paling indah terlihat dari sisi mana, aku merindukannya, merindukan memandangi langit bersamamu, merindukan waktu itu -saat menanti sore berganti petang. Dan kurasa senja ini sengaja ada, supaya rindu punya kawan bicara. Ah rindu ini merepotkan memang.
Teringat beberapa kali percakapan kita mengenai langit yang paling indah terlihat dari sisi mana, aku merindukannya, merindukan memandangi langit bersamamu, merindukan waktu itu -saat menanti sore berganti petang. Dan kurasa senja ini sengaja ada, supaya rindu punya kawan bicara. Ah rindu ini merepotkan memang.
Belum lama sejak
kamu berlalu, aku ingin membencimu, namun hatiku memberontak dengan
sendirinya. Lantas bagaimana aku harus membiarkanmu begitu saja, aku
yang berusaha menerima dengan segala upaya yang tak masuk akal, namun
terasa sia-sia karena terlalu banyak perasaan yang menguap,
memberontak, dan marah. Hatiku masih dipenuhi olehmu, padahal otakku
tau kamu sudah berlalu dengan tekad penuh dan mengesampingkan hatimu
dengan tak tahu dirimu.
Aku atau kamu yang
tak tau diri, entahlah. Biar aku saja tak apa, karena aku mau kamu
yang tak mau aku. Hanya saja aku sudah kelelahan, aku sudah
mengupayakan segalanya, berulang-ulang, lagi dan lagi, terus menerus.
Kemudian kamu jadi tak tau diri yang tak berpendirian, mau kemudian mengabaikan (mengabaikan kemudian kembali), mau kemudian berpergian (berpergian kemudian datang lagi), mau kemudian meninggalkan (meninggalkan kemudian minta kembali), mau kemudian menghilang (menghilang kemudian muncul lagi), mau kemudian lenyap.
Hingga aku tak berdaya, “Lenyap sajalah, pikirku” namun lagi-lagi aku tak tau diri juga. Aku merindukanmu dalam hari panjang yang kulalui tanpamu, dan tenpa pedulimu -ternyata aku masih mencintaimu.
Kemudian kamu jadi tak tau diri yang tak berpendirian, mau kemudian mengabaikan (mengabaikan kemudian kembali), mau kemudian berpergian (berpergian kemudian datang lagi), mau kemudian meninggalkan (meninggalkan kemudian minta kembali), mau kemudian menghilang (menghilang kemudian muncul lagi), mau kemudian lenyap.
Hingga aku tak berdaya, “Lenyap sajalah, pikirku” namun lagi-lagi aku tak tau diri juga. Aku merindukanmu dalam hari panjang yang kulalui tanpamu, dan tenpa pedulimu -ternyata aku masih mencintaimu.
Pagi, dapatkah kamu
memberikan jawaban??
aku ingin bertanya?
Bagaimana aku bisa
berulang-ulang mencintai orang yang salah?
Mengapa mencintai
orang itu begitu menyusahkan?
Dan apa karenanya
hingga aku selelu ditinggalkan saat sedang cinta-cintanya?
Pagi tak menjawab,
pagi hanya menemaniku dengan gelapnya, aku benci begini, sendiri
dalam mendung yang tak ada habisnya, dan bersanding dengan perasaan
merepotkan yang tak bisa kuabaikan.
Aku berjalan sesuai
kata hatiku hingga aku bertemu dengannya. Ternyata arahnya salah
hingga hatiku patah.
Lalu kita akan jadi
seperti apa? Aku tak pernah tau nantinya, mengkin kamu sedang menata
hidupmu dengan -dia yang lainnya.
Apakah kita akan
menjadi sepasang luka yang saling melupa? Atau juga tidak karena
dalam luka kita bukan lagi sepasang, dan hanya aku yang terluka, kamu
tidak pernah, karena kamu selalu baikbaik saja dengan ada dan
tiadanya diriku.
Dan akhirnya biarlah begini, aku biarlah sembunyi-sembunyi
merindukanmu, dan kamu biarlah pura-pura tidak tau bahwa aku
merindukanmu.
Jika ada yang membaca ini untuk mengenangku -kuharap itu kamu.
Karena aku menulis ini untuk melepaskan rindu yang takkan pernah
tersampaikan padamu.
Selamat tinggal Tuan Tak Tau Diri, segera lenyaplah kamu dari hatiku.
Like
BalasHapus