Duka bernama asa yang terasa sia bermakna
luka.
Tak tau kamu, takkan mengerti kalian.
Seonggok benci, segumpal luka, setumpuk sepi.
Jutaan hari aku di dekap sunyi, tercekik
ramai yang membuat iri, tertawa yang bukan bahagia, seperti hanya pelepas
dahaga.
Siapa yang datang siapa yang pergi, berlalu
lalang binatang jalang. Aku tetap disini, takut kenangan terhapus langkah.
Aku ingin melunasi hidup, jeritku!! Pada
ketidakadilan yang dunia ciptakan untukku.
Tak terdengar, aku menangis lirih
semalaman, berhari-hari, dalam detik disetiap tahun yang terlewati. Rupanya
waktu tak menyembuhkan luka ini.
Saat segalanya terasa sulit, siapa yang
harus kumaki, kucaci, kuteriaki.
Kupikir segalanya sudah membaik, aku sudah
sedewasa ini, lama sebelum waktunya aku dipaksa untuk itu. Nyatanya dewasa tak
membuatku berhenti merasa sepi. Ramai tetap saja asing, hangat tetap saja pilu,
tawa juga sama sendu.
Luka tetap saja luka, sembuhpun tetap
membekas, patah hatimu lebih baik dari patah hatiku, bukan soal kekasih, lebih
dari itu ini tentang mimpi yang direnggut pergi. Tak seperti kekasih yang akan
terganti, harapanku hilang bertahun-tahun silam, semangatku, separuh dari
jiwaku terpecah belah dimuara yang berbeda.
Jadi apa aku kini, onggokan luka yang
memendam lara, sebab jadi salah karena ada.
Hampir aku rapuh dimakan waktu,
mengatasinya kupeluk dan kusayangi diri sendiri.
Kubasuh dengan hujan luka ini dalam jutaan
hari, perihnya tak pernah mereda, semakin merintih semakin menyakitkan, semakin
berlari aku semakin kesepian, yang jelas aku merindukan, dekap hangat yang
menenangkan.
Sekali saja, aku ingin waktu berputar.
Biarkan aku menghentikannya dimasa itu, aku hanya ingin bilang lunasi hidupku
hari ini, sebab nanti banyak sepi yang kulalui karena kalian pergi.
Komentar
Posting Komentar