Sore berganti petang. Semburat jingga pun
perlahan hilang, lengkungan sabit muncul dari balik mega, sungguh cakrawala
indah yang bias dimata.
Banyak waktu kuhabiskan bersama sore, merenungi
diri yang tertarik sepi. Aku tidak lagi utuh tanpa harapan yang penuh. Namun fana,
harapan tinggalah harapan, mimpi pun hanya jadi mimpi. Rasa takut memejamkan
mata, sadar bahwa hidup hanyalah belenggu yang berjarak antara sore dan pagi.
Tiba pada gulita, belum tersadar dari
lamunan, jendela malam yang merebut kenangan, sungguh aku gigil ditelanjangi
samudera. Bibir yang terkatup menahan pedih, mata yang terjaga menahan lirih,
hati pun tak kuasa turut merintih, pada sunyi yang mengitari.
Denyut waktu kian melambat, hari terus
berulang tanpa ada yang istimewa, tak ada lagi beda antara ahad dan sabti, semua
hari hanyalah sepikul misteri.
Aku ingin kabur dari lakon ini, dan melebur
menyatu dengan bumi. Hilangnya nurani bagai sepukau benci, dan aku tak pernah
serisau ini.
Jangan ajak bernegosiasi, aku hanya ingin
sendiri. Pun kalau mendekat, kau akan pergi lagi, buatku ingin merutuki diri. Sepikul
gelisah terpukul oleh resah, biarlah aku yang binasah.
Enggan lagi aku berangan, pernah dengan
sempurna anganku dihanyutkan, sengaja supaya aku tenggelam terlalu dalam, sebab
berenang pun aku tak pandai.
Tuhan kira aku sehebat apa, duka penuh luka
selalu tiba tanpa putus asa. Tangisku menggema dalam keluhku yang lara, hingga
tawa hanya bagaikan gumaman.
Aku biarlah terpenjara disini, menahun dalam
belantara yang kelam, terjaga dalam pandang taburan bintang, hingga terlelap
dalam selimut kabut.
Komentar
Posting Komentar