Langsung ke konten utama

Tanya diri.


Hai.
Ada yang bisa membantuku menjawab pertanyaan tentang “bagaimana caranya memaknai hidup?”
Sering kali kita berpikir bahwa apa yang kita jalani adalah hal yang paling tepat dan paling benar, tanpa pernah kita sadari hal-hal itu menjadi kebiasaan dan rutinitas dalam hidup kita.
Lantas apakah memang seperti itu harusnya kita menjalani hidup ini?
Memasuki fase dewasa dalam hidup, terkadang aku sendiri masih belum tahu tingkat kedewasaan yang kumiliki, seringkali kedewasaan hanya kita ukur melalui umur seseorang. Namun apakah orang yang lebih tua benar-benar sudah dewasa?
Hati, pikiran, juga apa yang dijalani manusia terkadang jadi suatu keharusan namun tidak benar-benar kita inginkan.
Seperti pada diriku yang mengubur banyak angan dan harapan demi sebuah realitas yang harus dijalani setiap harinya.
Melalui hari dengan tumpukan keluhan, menghabiskan waktu dengan keikhlasan yang dipaksakan, menguatkan diri pada saat luka yang dialami tak mampu lagi teruraikan.
Dalam ketakutan yang menggerogoti, manusia punya rahasianya sendiri yang tak ingin diketahui, menyembunyikan dengan rapat isak yang hampir menyeruak, meski dada terasa mulai sesak dan bulir air mata hampir merangkak pada kelopak tetap saja kita membungkam mulut rapat-rapat.
Mengapa menjadi jujur bisa sesulit ini, mengungkapkan apa yang dirasakan seperti ada penghalang besar yang menghadang, dalam kesakitan yang mendalam rasa syukur malah terlupakan.
Hidup dalam asa, menganga melihat mimpi menguap mengudara tak mampu tergapai.
Iri pada gemilang hidup manusia lain disekitar kita.
Mengapa harus egois pada diri sendiri, mengapa masih dilakukan jika tak membahagiakan, apakah hidup hanya bertahan jika kita selamanya berpura-pura kuat, mampu bertahan diatas segala tekanan yang ada.
Apakah kita benar-benar hidup dengan semua keterpaksaan yang ada??
Tidakkah kita telah mati? Ya, hati kita mati, Nurani kita tergerogoti, yang tinggal hanyalah raga itu sendiri.
Mengapa kita rela bungkam saat menjadi orang yang paling terluka.
Mengapa kita rela memendam disaat menjadi orang yang paling rapuh.
Mengapa kita harus terperangkap saat segalanya harus diungkap.
Sampai kapan kita egois, menyakiti diri sendiri demi hidup yang sesungguhnya tak ingin dijalani seperti ini.
Sampai kapan kita patuh pada keadaan, pasrah akan masa depan, seperti takdir tak bisa lagi kita ganggu gugat.
Harusnya kita lebih menghargai diri sendiri lebih dari apapun, mengapresiasinya atas segala kesanggupannya untuk bertahan, atas kesabarannya menghadapi ribuan harap yang tersebar.
Kita berharga, kita bukannya tak bisa, kita hanya butuh sedikit rasa percaya, percaya pada diri kita bahwa kita mampu menjalaninya, mampu melakukan apapun lebih dari yang kita rasa bisa.
Bagi jiwa yang merasa mati, mari kita rebut raga kita kembali, mari sentuh keteguhan yang tersembunyi, mari meyakini diri kalau kita mampu lebih dari ini.
Hidup tidak hanya menyenangkan orang lain dan dipandang baik bagi orang lain, jadi mari kita menjadi baik bahkan yang terbaik bagi diri kita sendiri.
Kepada jiwa-jiwa yang telah mati, mari kita hidup sekali lagi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketidaksengajaan Yang Diatur Tuhan

Aku tak tau ingin memulai ini dari mana. Banyak yang kurasakan, ingin kusampaikan, hingga jadi membingungkan untuk ku aksarakan. Sayang, sebelum bertemu denganmu aku sudah menjadi seorang pemimpi, sama halnya denganmu berkhayal terasa menyenangkan bagiku. Hanya saja mungkin haluan khayalan kita yang berbeda, kamu yang terlalu fantasy sedangkan aku terlalu fiksi. Aku punya banyak mimpi yang kata orang hanya bisa jadi imajinasi, tapi bagiku semua mimpi itu harus lebih nyata dari sekedar imajinasi. Bahagia, ia memang banyak dari sebabnya adalah ketika aku sedang bermimpi, berkhayal, berandai-andai tentang segala sesuatunya yang terlihat indah serta membahagiakan. Taukah kamu sayang, akhir-akhir ini aku banyak melibatkanmu dalam mimpi itu. Mungkin jika kuceritakan akan terdengar terlalu berlebihan, tapi sungguh bahwa segalanya amat menyenangkan kurasakan. Pernah kubilang bukan, bahwa aku lelah untuk memulai lagi, ku ingatkan sedikit, percakapan itu kita lakukan di pinggiran...

Kala Sore

Kala sore, Jalan itu terasa lengang Walaupun satu dua masih berlalu lalang Dua pasang kaki berdiri di pinggir trotoar Kala sore, Langit mulai terlihat kekuningan Desis daun memecah keheningan Dua bibir masih saling terbungkam Kala sore, Daun gugur diterpa angin Kicau burung meramaikan sepi Dua pasang mata menatap lirih Kala sore, Matahari mulai menghilang Seperti petang akan segera datang Dua pasang insan saling meninggalkan

Hapuslah Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu

Aku jadi ingin melakukan hal yang sama setelah membaca tulisan milik Hamsad Rangkuti yang berjudul "Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu," aku begitu terlarut dengan tulisan itu. Dengan perasaan resah kuraba bibirku dengan jemari, seakan masih terasa kecupan terakhir bibirnya dibibirku. Terasa pula tangannya yang mengelus lembut rambutku ketika bibirnya masih melekat mesra dibibirku. Memang benar semua kenangan antara aku dengannya sudah kuhapus walau kadang beberapa dari memorinya muncul kembali sebagai virus yang merusak jaringan di sistem hatiku. Namun masih ada yang tertinggal dengan baik ditempatnya, bekas bibirnya yang belum terhapus masih melekat dibibirku. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya dibibirku dengan bibirmu," seperti yang dituangkan oleh Hamsad Rangkuti dalam tulisannya, aku memperkenankanmu melakukannya untukku. Tak apa lakukanlah, kecup saja bibirku dengan bibirmu, lumatlah agar bekas bibirnya benar-benar hilang dari...

Elektron

Berputar elektron, seperti muatan listrik bergerak lainnya, membuat medan magnet di sekitar mereka. Akulah medan magnet itu. Bahwa medan magnet memengaruhi cara elektron mengatur diri dalam atom dan bagaimana mereka bereaksi satu ssama lain. Seperti aku memengaruhimu, perlahan masuk dalam hidupmu, perlahan mencampuri segala urusmu, hingga yang kau ingat hanya aku, bukan dirinya sebagai milikmu.

Sepertinya Penulis Jatuh Cinta

Selamat malam hujan, aku sedang  mendengarkan suara rintikmu dari balik selimutku. Hujan, rasanya sudah lama sekali aku sibuk dengan rutinitas yang menyita waktu hingga aku tak sempat menyapamu dikala kau berlalu beberapa saat kemarin, bahkan aku mengabaikan sedikit banyak imajinasi yang biasanya menjadi alat menyampaikan perasaanku. Aku lupa cara berkata-kata dan mengatur diksi yang baik pada tulisanku, terlihat berantakan serta tak beraturan pada setiap kata yang kutuliskan. Bagaimana aku menyampaikan bahagiaku ini hujan, aku takut perkataanku salah dan tak terdengar indah. Harusnya jika aku bahagia, para pembacaku juga turut bahagia, aku takut malah menuliskan hal yang begitu melankolis diatas bahagiaku. Ah makin lama makin penuh gurauan saja, aku pun tak mengerti dengan pasti harus mengawali cerita ini dari mana. Hujan, aku bahagia. Bahagiaku karena kutemui sosok yang merasa bahagia karena hadirku. Hujan ada lagi, ternyata masih ada sosok yang merasa bahagia jika bersamaku...