Menyimpan dendam, padahal kita semua pernah berbuat salah. Tapi, memaafkan memang sesulit itu, merelakan apalagi.
Bersama menyesakkan, ditinggalkan menyesakkan, sudah pergi tetap menyesakkan, kenapa segala tentangmu selalu membuat sesak.
“Pergilah padanya”, aku memang bilang begitu kala itu, kau yang tak dapat memutuskan -ingin tetap denganku tapi juga tak ingin tinggalkannya, lantas kau pergi karena satu kalimat itu. Lalu, aku kau tinggalkan dengan luka yang terlalu dalam.
Lukaku masih basah, dan kau terlihat bahagia, -dengannya.
Pertemuan setelah perpisahan mengapa juga menyesakkan. Harusnya jalan yang kulewati itu tak boleh searah. Berpapas jalan dengan aku yang tidak baik-baik saja, sedang kamu bersikap seolah aku memang tak pernah ada dihatimu, -biasa saja.
Kupikir aku telah baik-baik saja, menyapamu tersenyum dan bertanya kabar. Namun senyummu, menguak rindu yang sekian lama tertahan, begitu juga dengan luka yang masih tersisa sejak kita bukan lagi “kita”
Setiap detik jam terasa melambat saat dihadapanmu, kemudian aku segera berlalu, ketika sesak tak sanggup lagi tertahan dan mataku mulai basah. Aku tak ingin terlihat menyedihkan di depanmu.
Sampai jumpa lagi katamu, sungguh aku berdoa bahwa perjumpaan itu akan selalu menjadi tidak mungkin bagi kita, sebab jumpa menyeruakkan lagi kenang yang susah payah aku ingin lupa.
Biarkan aku bertahan meski sendirian, karena kamu adalah sebab sesak yang tak pernah ada habisnya.
Komentar
Posting Komentar