Langsung ke konten utama

Postingan

Ingin berlibur dengan sepasang kakimu.

Aku merindukanmu. Aku rindu berlibur dengan sepasang kakimu. Aku rindu menyambut pagi, saat hari itu akan kulalui denganmu. Menghabiskan waktu, hingga pagi tergantikan oleh malam. Aroma pagi tak pernah semanis itu. Saat kau sampai depan rumahku, aku menyambutmu dengan senyuman, sambil bilang “aku naik ya”. Kita berada dijalan yang panjang. Dan hari itu lumayan ramai, tapi debu dan asap kendaraan tak lagi jadi menyebalkan, sebab obrolan sepanjang perjalanan sangat menyenangkan. Entah apa yang kita bicarakan, berkali-kali ucapanmu tak terdengar dan banyak “apa” yang terlontar dari mulutku, kau sedikit menengok kebelakang lalu sesekali menatap dari kaca spion, kemudian kita tertawa begitu saja. Pegangan katamu, lantas kedua tanganku meraih pinggang itu. Yang erat katamu lagi, dan aku hanya tersenyum ragu-ragu karena malu. Masih diperjalanan, bisa saja kau membuat jantungku berdegup tak karuan, untung saja aku dibelakangmu, jadi tak terlihat rona merah dipipiku kala itu....

Oktober hampir habis.

Oktober hampir habis. Dan kamu masih dikota itu. Kota yang tidak ada aku disana, yang ada hanya kamu dan masalalumu dengan sejuta kenangannya . Bulan tanpa tanggal merah dikalender ini akan segera habis, dan aku tak ingin menyambut bulan baru dengan kekhawatiran. Berkemaslah, pulang. Tinggalkan segalanya dikota itu, tuntaskan segalanya dalam kilometer yang tak dapat kau jangkau lagi. Aku merindukanmu. Semoga itu adalah mantra terbaik untuk untuk mempercepat kepulanganmu. Aku kebingungan, aku tak tau bagaimana caranya melalui hari tanpamu. Semua waktu yang kulalui tanpa melibatkanmu adalah detik terburuk dalam hidupku. Maaf :( Maaf merepotkanmu dengan semua perasaan ini. Dalam hal mencintai, aku memang seberlebihan ini, kumohon mengertilah, aku hanya ingin kau tetap tinggal. Aku sungguh-sungguh saat aku bilang aku tak butuh kau pulang. Karena yang kubutuh adalah kau jangan pergi. Tak terucap segala upaya untuk menahanmu disini karena aku tak ingin kau meng...

Aku wanita.

Aku. Aku wanita. Aku wanita yang suka saat melihat hujan, terlebih saat malam hari dibawah lampu jalan, ia keperakan seperti jarum-jarum patah. Aku. Aku wanita. Aku wanita yang suka melihat pohon, terlebih saat sore akan menghilang, sorot jingga dari matahari yang akan tenggelam membuat daunnya indah kekuningan, juga terpaan angin yang berhembus membuat daunnya menari-nari indah. Aku. Aku wanita. Aku wanita yang suka melihat laut, terlebih saat angin laut berhembus dengan aroma khasnya, dengan gulungan ombak yang selalu membuatku ingin kembali kesana, sungguh menakjubkan. Aku. Aku wanita. Aku wanita yang suka senja, terlebih saat senja tak hanya jingga, ada langit yang memerah juga merah muda, serta biru dan hitam didekatnya, warna yang sangat indah, degradasi yang Tuhan ciptakan selalu tak sanggup kudeskripsikan, terlalu indah untuk dijelaskan dengan kata, dan hanya mata yang akan paham maksudnya. Aku. Aku wanita. Aku wanita yang suka merah muda, terlebih saat membuat r...

Aku muak.

Hey Tuan. Ada yang ingin kukatakan, tak mampu terurakan lewat ucapan, maka baca ini dengan sebaik-baiknya. Sebelumnya, terimakasih karena telah hadir dalam hidupku. Setidaknya warna abu-abu hidupku kini sudah punya teman tujuh warna pelangi semenjak kamu hadir. Tuan. Aku sedang ketakutan, sangat takut. Takut yang tak kumengerti seberapa pun aku coba mengatasinya. Tuan, aku takut mencintaimu. Tapi bagaimana ketakutan itu berubah jadi nyata kini. Aku takut mencintaimu adalah salah. Lalu bagaimana jika sudah cinta begini? Tuan, bisakah tenangkan aku bahwa segalanya akan baik-baik saja. Bisakah yakinkan padaku bahwa mencintaimu adalah keputusan yang paling tepat. Bisakah Tuan? Tuan, sungguh aku sudah muak dengan segala hal yang mengatasnamakan cinta. Seperti kata, kalau kamu berbeda dengan laki-laki lain, kalau aku satu-satunya, kalau kamu tidak akan pernah menyakitiku seperti yang dilakukan seseorang di masalaluku, kalau aku berbeda dari semua wanita yang pernah kamu t...

Memulai.

Untukmu. Sebelum ini. Aku benci dengan kata memulai, hal-hal baru sangat menyebalkan bagiku. Tanpa kusadari aku terjebak pada rutinitas yang itu-itu saja, yang hanya begitu-begitu saja, dan hidupku jadi biasa saja. Menemukanmu, ditemukanmu, atau bertemu denganmu, entah mana yang lebih tepat untuk kita, yang jelas pertemuan ini mengubah segalanya. Semenjak ada kamu, segalanya tak biasa lagi. Segalanya menjadi sangat menyenangkan untuk dilakukan. Bangun dipagi hari, mengucapkan ucapan selamat pagi, pamit ke kantor, bilang sudah sampai kantor, istirahat makan siang, pulang kantor, dan sampai dirumah, segalanya kini melibatkan kamu. Hari yang melelahkan pun mereda ketika mendengar suaramu diujung telepon. Waktu-waktu sulit yang kumiliki dapat kulalui karena adanya dirimu. Entah maksud Tuhan apa? Mengapa Dia mengirimmu. Kurasa Dia ingin pamer. Aku sangat berterimakasih, Tuhan mengirimmu saat aku minta satu saja diberikan keberuntungan. Dan ternyata kamu keberuntungan itu. ...

Mas.

Mas. Terimakasih telah datang, meskipun kamu sangat terlambat. Jika saja kamu datang lebih awal, hatiku pasti takkan merasakan patah yang kemarin. Mas. Tapi mas, lagi-lagi terimakasih telah datang, karenamu lukaku membaik dengan cepat. Aku dan kamu, kita adalah sepasang luka yang saling menyembuhkan. Aku dan kamu, kita adalah sepasang duka yang saling membahagiakan. Kita sama-sama tau, sakit yang terdalam seperti apa rasanya. Perpisahan dan pertemuan adalah takdir yang tak bisa kita tentukan. Hanya aku sangat bersyukur pada kenyataan bahwa perpisahan yang mengecewakan di masalalu telah menuntunku untuk bertemu denganmu. Dengan kebetulan-kebetulan dan cara yang sungguh menakjubkan, bagiku kamu sungguh istimewa. Mas. Mari berjuang, agar kita tak lagi mengenal luka. Agar yang kutahu, luka hanyalah sebab untuk mencintai orang yang salah. Sedangkan bahagia adalah hadiah untuk mencintaimu. Dan M as. Tetaplah begitu, tetap ditempatmu sekarang dan cintai aku dengan seba...

Selimut Kabut

Sore berganti petang. Semburat jingga pun perlahan hilang, lengkungan sabit muncul dari balik mega, sungguh cakrawala indah yang bias dimata. Banyak waktu kuhabiskan bersama sore, merenungi diri yang tertarik sepi. Aku tidak lagi utuh tanpa harapan yang penuh. Namun fana, harapan tinggalah harapan, mimpi pun hanya jadi mimpi. Rasa takut memejamkan mata, sadar bahwa hidup hanyalah belenggu yang berjarak antara sore dan pagi. Tiba pada gulita, belum tersadar dari lamunan, jendela malam yang merebut kenangan, sungguh aku gigil ditelanjangi samudera. Bibir yang terkatup menahan pedih, mata yang terjaga menahan lirih, hati pun tak kuasa turut merintih, pada sunyi yang mengitari. Denyut waktu kian melambat, hari terus berulang tanpa ada yang istimewa, tak ada lagi beda antara ahad dan sabti, semua hari hanyalah sepikul misteri. Aku ingin kabur dari lakon ini, dan melebur menyatu dengan bumi. Hilangnya nurani bagai sepukau benci, dan aku tak pernah serisau ini. Jangan aj...