Langsung ke konten utama

Postingan

berpulang

Kini bukan padaku mata teduhmu menatap Bukan juga padaku tangan hangatmu menggenggam Bukan pula padaku erat pelukmu kau berikan Sayang, antara banyak ruang yang kau lewati Mengapa harus hatiku yang kau sakiti Secercah harapan yang menggungah hati Kini menusuk tajam bagai belati Katamu aku segalanya dalam semesta yang kau hidupi Namun lagi, semua hanyalah bak cerita fiksi Dan kau malah makin pandai berdiksi Dengan dalih membela diri sendiri Sekarang aku tertawa saja Gugup menangis pun tak akan Menyaksikan lakonmu yang makin memuakkan Sampai kau berpulang pada Tuhan

Untuk Perempuanku

Terima kasih sudah menyajikan cinta yang begitu nyaman. Terima kasih sudah manangkapku yang terjatuh. Membangunkanku lagi. Kemudian menjatuhkan hati. Dan mendaratkannya di bantalan kasih seindah dunia fiksi. Terima kasih sudah menyelamatkan rasa yang hampir tenggelam, dengan hadir dalam hidupku walau penuh lebam. Terima kasih sudah menyeka luka, sehingga senyum itu muncul lagi terlihat di wajah. Terima kasih sudah menjadi penawar harap yang dulu mulai memudar. Terima kasih karena membiarkan aku belajar, meski aku tak pernah merasa cukup. Aku selalu merasa kurang akan tempat untuk membuktikan diri, bahwa aku pria sejati. Dan kamu hadir, memberikan kesempatan itu. Aku tak pernah puas berusaha segenap jiwa membahagiakan kamu perajut asaku. Aku bisa selalu lapar untuk kamu ajari bagaimana mencinta dengan setulus hati. Sebuah impian bisa terbangun di suatu pagi dengan wajahmu di sampingku, setelah berebut selimut di malam penuh kabut. Kelak aku hanya ingin terjaga karena sinar ma...

Dewasakah aku?

Aku menulis ini pada pagi di awal Februari. Pagi yang lumayan dingin untuk   menemani sisa-sisa   resah yang tertinggal   dari bulan kemarin. Tidak ada yang berbeda dari pagi ini,   seperti hari kemarin dalam tujuh bulan terakhir aku mengalami putaran waktu yang sama, menjalani rutinitas yang hanya itu-itu saja, tujuh hari yang kumiliki dalam seminggu tidak terasa menyenangkan lagi. Aku seperti bukan aku, aku hanya sedang melakoni hidup yang kata banyak orang memang seharusnya begitu. Ini bukan ambisi, hanya saja keadaan yang memaksaku untuk ada disini, duduk didepan meja kerja menanti waktu agar cepat berlalu. Setiap sepuluh menit kutengok jam dinding, “masih tujuh jam lagi” ujarku. Selalu begitu setiap waktu. Dari kursi kerjaku, berjarak tiga meter hanya terhalang kaca bening seorang pria dengan punggung lebarnya duduk disana, yang kupikir Tuhan mendatangkannya untuk membuatku menjadi manusia bijaksana. Bijaksana pada diri sendiri, meyakinka...

Pisah.

Perpisahan kita sekarang, bisa jadi adalah cara Tuhan untuk menyelamatkan kita dari luka yang berkepanjangan. Meski kini, kita yang masih saling menyayangi hanya bisa berjalan sendiri-sendiri. Saling mendoakan tanpa saling mengetahui. Saling menyemogakan meski tak mungkin bersanding kembali. Aku tau, tidak ada yang baik-baik saja diantara kita. Semua tawa hanyalah hahahaha yang keluar dari pita suara. Berpisah baik-baik, katamu? Tidak seperti itu yang kurasa. Aku tak pernah merasa baik semenjak tak ada lagi kamu yang menggenapiku. Kebaikan apa yang kudapat jika dalam setiap nafas yang kuhirup hanyalah sesak yang tertinggal. Harusnya bukan seperti ini. Harusnya saat itu aku lebih bersikeras untuk tinggal saat kamu bersikeras untuk pergi. Bagaimana bisa kamu melakukannya. Bagaimana bisa kamu tidak menyekanya, meski jelas kau lihat air mataku mengalir tanpa sopan. Berlalu kamu dari sebelahku. Lantas kini, mau diapakan segala mimpi yang telah kita ucap. Dan kemudian, ...

Berdamailah.

Kepada, setiap raga yang tak benar-benar menyatu dengan jiwa. Dimanapun kamu berada, percayalah bahwa kamu tidak sendirian. Mungkin kamu sedang membaca ini sembari menahan tangis karena merasa dunia tak pernah berpihak kepadamu. Mungkin kamu sedang berada di bus, dalam perjalanan penuh pelarian berharap perpisahan orang tuamu tidak benar-benar terjadi. Mungkin kamu sedang marah, karena sahabat dan kekasihmu mengkhianatimu. Bisa jadi kamu sedang tidak baik-baik saja karena terjebak dalam perputaran waktu yang hanya itu-itu saja. Mungkin kamu sedang frustasi karena deadline pekerjaan atau juga karena tumpukan tugas yang tak kunjung selesai. Mungkin juga kamu sedang gundah karena hanya tau caranya menyukai tanpa tau cara menyampaikannya. Mungkin kamu sedang memaki diri sendiri karena menjadi pengecut yang hanya berani mencintai diam-diam. Atau mungkin kamu sedang sembunyi dari hiruk pikuk kehidupan yang membosankan. Atau juga mungkin kamu yang hatinya sedang terluka karena dit...

JIKA.

Jika dalam genggammu bukan lagi jemariku yang tertaut. Jika dalam tatapmu bukan lagi bayangku yang kau lihat. Jika dalam pelukmu bukan lagi aku yang kau dekap. Jika dalam hatimu bukan lagi aku yang disana. Kuharap itu terjadi karena memang tak ada lagi aku. Karena tanganku terlalu lemah dan tak mampu lagi untuk menggenggam. Karena mataku tak lagi dapat terbuka dan membalas tatapmu. Karena tubuhku terlalu kaku dan dingin untuk kau dekap. Bukan karena tangan orang lain lebih ingin kau genggam. Bukan karena mata orang lain lebih indah dan memukau. Bukan karena tubuh orang lain lebih ingin kau eratkan. Bukan karena hati lain lebih ingin kau tempati. Sampai saat itu tiba. Kuharap tangan ini takkan pernah kau lepas. Diri ini yang selalu kau lihat. Tubuh ini yang selalu kau rengkuh. Dan biarkan hanya aku ini satu-satunya yang mengisi penuh hatimu.

PERGI.

Sudah waktunya langit biru menjadi merah. Dalam perjalanan pulang, terlintas dalam benak mengenai pergi. Entah, pergi kini jadi terdengar memilukan. Meninggalkan tangis juga jejak kesendirian. Sorak-sorai tak lagi ramai sungguhan. Tawa kini hanyalah gema yang dipentaskan dengan penuh metafora. Denyut waktu mengusung sepi ditemani derai air mata. Berkecamuk hati karena peluh telah luruh. Kutapaki pualam memandangi senja kesumba. Berwindu penantian penuh auman bermuara pada kelamnya nestapa. Temaram sudah senyum tak lagi dapat merekah. Dalam kesemuan diri ini bersepi.