Langsung ke konten utama

Postingan

menanti waktu

pada malam aku bertanya bagaimana kabarmu? sedangku disini tidak begitu baik, entah sudah yang keberapa, kulalui malam-malam panjang tanpamu. apa lagi tau, saling sapa pun tidak. bisa kita sejauh ini, bagai langit yang berjarak dengan bumi. entah apa yang kau lakukan, aku disini dengan rutinitasku, dengan segala kesibukan yang kuciptakan sendiri kuselipkan harapan tentang dirimu yang akan kembali. aku dengan segala kebodohan yang tersisa, menghabiskan waktu menanti pagi menunggumu. tak berharap kamu tau hanya berharap kamu datang aku biarlah berbicara pàda malam, menceritakan dirimu yang kunanti meski sengaja pergi, aku seterusnya bercakap pada petang, mengajaknya menemaniku melewati malam untuk mengenangmu, kuceritakan pada sunyi tentang tawa renyahmu yang kudengar pertama kalinya, kukatakan padanya tentang dirimu yang dapat tersenyum tulus, kugambarkan tentang mata teduhmu saat memandangku, juga tentang dekap hangatmu yang menenangkan. malam tak menjawab, dan sunyi tet...

kembalilah

Sejak hari itu, aku menambah kegiatan favoritku dipagi hari. Selain menyesap kopi, aku menunggumu terbangun, dan kembali pada sadarmu, lalu menyapaku dengan ucap selamat pagi. Apa kabar kamu, kekasih hatiku? Izinkan aku menyapamu berulang-ulang, karena diri ini masih tak tau diri untuk tak merelakanmu. Seberapa keras kamu ingin berlalu, sebegitu pula rupaku ingin menggenggammu. Aku tau, segala upaya yang ku lakukan mungkin belum cukup bagimu untuk menghapus segala kesalahanku dimasa itu. Tapi ketahuilah, hari-hari yang kulewati tanpamu adalah neraka terpanjang yang pernah kulalui. Satu hari berlalu, kubiarkan malam menenggelamkanku berharap kenyataan ini berbaur bersama dengan mimpi. Hari kedua pun kulewati dengan harapan yang sama. Berlalu kehari selanjutnya hingga waktu makin menyiksaku bahwa segala harapan itu tak pernah menjadi nyata, Nyatanya kamu tetap berlalu, memunggungiku, berjalan menjauh, makin tak tergapai, hingga hampir memudar. Pagi ini aku memikirkanmu leb...

Senja Sendu Punya Rindu

Pagi ini hujan membangunkanku, suara gemerciknya membuatku tergugah, rupanya resah ini masih ada. Semalam aku beranjak tidur lebih cepat, berharap pada malam panjang yang sengaja kulewatkan agar memberikan kabar baik kepada pagi, namun kabar itu tak ada -segalanya tetap senyap. Kemarin aku memandangi langit sore yang indah, mega bertebaran bercampur dengan birunya langit, disisi lainnya langit agak berwarna keunguan pertanda malam akan menjumpai, terdapat pula pelangi yang hampir hilang -padahal tak habis hujan. Senja yang sendu, gumamku. Aku berbicara pada langit, berharap kamu akan mendengarnya. Entah aku hanya berpikir kamu pun sedang memandangi langit, sama sepertiku. Teringat beberapa kali percakapan kita mengenai langit yang paling indah terlihat dari sisi mana, aku merindukannya, merindukan memandangi langit bersamamu, merindukan waktu itu -saat menanti sore berganti petang. Dan kurasa senja ini sengaja ada, supaya rindu punya kawan bicara. Ah rindu ini merepotkan memang....

Lenyapkanlah

Malam-malam mulai terasa sunyi, kembali aku terjebak oleh manusia yang tak tahu diri. Tuhan, aku ingin menghilang, atau musnahkan saja dia. Aku tak ingin lagi berada di dunia yang sama dengan nya. Sadar kami berbagi oksigen meski ditempat yang berjarak pun rasanya sangat menyebalkan. Memikirkan nya terlalu menyesakkan. Lagi, bodohnya aku lagi, lagi yang kusesali. Ingin menyumpahi memaki meneriaki hingga rasanya lupa diri. Ini terlalu menyakitkan, terlalu menyebalkan untuk dilalui -lagi. Bawa dia pergi Tuhan, ditempat yang tak bisa kulihat lagi, ditempat yang tak dapat kujangkau lagi, lebih dari apapun aku tak ingin, benar-benar tak ingin lagi berada di dunia yang sama dengan nya. Mengapa harus hidup, jika hanya untuk melukai. Mengapa harus ada jika hanya untuk menanam luka. Tiadakan saja dia, hapuskan segalanya, hilangkan segala ingatan yang berhubungan dengannya. Sungguh rasanya ingin berkata kasar, setelahnya menenggelamkannya ditengah samudera. Biarkan dia membawa se...

Kemarin itu

Mengapa harus kamu? Jika ku ketahui pemilik hati ini yang sesungguhnya, beranjak aku dari kemarin. Aku.. Disampingmu bukan karena memilihmu, hanya waktu itu semua menetap dengan sendirinya. Seringkali kamu yang tak tau diri itu jadi sebab depresiku, namun tak tau mengapa ragaku masih bersikukuh untuk menetap. Kian hari mencintaimu membuatku kelelahan, aku bertahan diantara banyak pertanyaan yang tak sanggup terutarakan, dan kamu menenggelamkan ku dalam ketidakpastian yang gamblang antara perasaan yang nyata atau hanya halusinasi sementara. Aku dalam kondisi sadar sejak kemarin, saat aku melibatkan diri dengan sosok bodohmu. Tapi sepertinya mabukmu tak pernah reda sejak kemarin itu, hingga aku tak tau, apakah aku pernah kau anggap nyata. Seperti angin, aku merasa hanya berlalu disekitarmu, tak seperti oksigen yang selalu kau butuhkan meski dalam mabukmu. Bahkan kulit hitammu cukup tebal untuk tak merasakan aku berhembus berlalu lalang, tak seperti daun yang berguguran karenaku....

Diriku hilang, di November yang hujan-

November datang lagi, hanya saja hari-hari berlalu lama akhir-akhir ini. Hujan menyambut mulai dari awal November. Namun tidak setenang biasanya, segalanya makin kalut jika dirasakan. Segalanya tak berjalan sesuai rencana, apa yang diharapkan banyak tak tercapai, seperti aku menjalani hidup yang bukan milikku. Kupikir setelah banyak kesulitan terlalui, menjadi dewasa adalah hal yang mudah, namun nyatanya menjadi dewasa tak sesederhana itu. Sebelumnya tak pernah aku pikir akan sesulit ini, dan rasanya sangat menyusahkan. Segala keputusan saling melibatkan, hingga aku merasa, -aku kehilangan diriku sendiri. Hidup tanpa jiwa, hanya dengan raga yang terlalu lelah untuk dipaksakan. Jika pilihan adalah sebuah langkah untuk meninggalkan lainnya, bisakah aku tak perlu memilih?? Jika kenangan terasa begitu dirindukan setelah segalanya berlalu, bisakah waktu berhenti pada detik yang ku inginkan saja? Jika kenyataan akan terasa begitu menyulitkan, bisakah aku hanya menjadi tokoh fiksi...

Oktober lalu berlalu

Kembali lagi pada Oktober, hari hujan hampir mengintimidasi pada setiap tanggalnya, tahun lalu pun begitu. Perkiraanku ini akan berlanjut sampai pergantian tahun. Ah yaaa, aku bukan peramal cuaca apalagi penolak hujan. Segalanya hanya masih teringat jelas, tentang hujan, sore, dan banyak kenangan indah lainnya di Oktober yang lalu. Pagi ini hujan, tapi langit cukup cerah bahkan tak ada awan hitam yang bergulung disana. Aku memandangi langit pagi yang kuning keemasan, mencari mentari yang bersembunyi dibalik awan putih, melihat hujan yang turun tanpa malu karena warnanya jadi keperakan tersorot cahaya dari langit. Namun aku memilih kembali bersembunyi dalam selimutku dari pada memandangi hal yang biasanya jadi kesukaanku itu. Mencari gelap yang hangat untuk bersembunyi, dan berharap hujan turun semakin deras. Hujan berhasil menjebakku, menguapkan kenangan yang terkubur lama. Seperti di Oktober lalu, misalnya saat aku dan kamu banyak menghabiskan waktu memandangi langit sore b...